Kamis, 07 Desember 2017

USHUL FIQH

HUKUM SYARA’
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
USHUL FIQH

https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQoMTmwM3wxUqmL1KM9qstm9xiA1CaukEC5ivglRbmNJtCHdvpD


Disusun Oleh : Kelompok 3
Alfadilatu ahmad      : 2014.1839
Muhammad Yasin    : 2014.1902


Dosen Pembimbing :
Ahmad Rasyid, MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
STAI-PIQ SUMATERA BARAT

2015 M/1436 H

PENDAHULUAN

Ilmu ushul fiqih sudah tidak asing lagi untuk kita umat Islam . Ilmu ini digunakan mana kala ada permasalahan yang tidak bisa dipecahkan dengan tinjauan dalil al-qur’an dan hadist , ushul fiqih ini juga banyak mengandung pebahasan yang sangat kita perlukan dalam praktek kehidupan kita sehari-hari.
Ilmu yang sering digunakan dalam ushul fiqih ini diantaranya adalah tentang hukum  syara’  yang mencakup hukum taklifi dan wadh’i. Maka dari itu pemakalah akan mencoba membahas tentang hukum syara’ dengan fokus pembahasan :
1.      pengertian dan ruang lingkup hukum syara’
2.      pembagian hukum syara’
3.      hukum taklifi
4.      hukum wadh’i

HUKUM SYARA'

A. Pengertian dan Ruang  Lingkup Hukum Syara'
            Hukum syara' merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Arab yaitu “al-hukm asy-syar'i”, ini berarti kata tersebut terdiri dari dua kata yaitu hukum dan syara'. Hukum secara etimologi yaitu memutuskan atau mencegah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hukum mempunyai definisi peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang disuatu masyarakat (negara).
Sedangkan pengertian hukum syara' secara singkat disebutkan sebagai hukum Islam. Adapun kata syara’ secara etimologi ialah menuju aliran air, sedangkan secara terminologi ialah jalan yang nyata dan terang yang mengantarkan manusia kepada keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat.[1] Hukum syara’ berkaitan dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i.
            Di kalangan ulama ushul fiqih ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah Saw, dapat disebut hukum jika ia mengandung makna perintah dan larangan untuk melakukan perbuatan, atau mengandung pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau mengadung makna hubungan perbuatan mukallaf dengan suatu sebab, atau suatu syarat, atau suatu halangan tertentu.

B. Pembagian Hukum Syara'
            Secara garis besar hukum syara' dibagi kepada dua bagian yaitu : hukum taklifi dan hukum wadh'i. Dibawah ini akan diberikan penjelasan tentang kedua hukum tersebut:
1)      Hukum Taklifi ialah Firman Allah yang berbentuk thalab (tuntuan) dan takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan. Pada umumnya ulama ushul fiqih mendefinisikan sebagai berikut :
“Sesuatu yang mengandung perintah untuk berbuat atau tidak berbuat ataupun untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat suatu perbuatan”.
2)      Sedangkan Hukum Wadh'i ialah firman Allah yang berbentuk wadh'i yaitu ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sabab (sebab), syarth (sayarat) atau mani' (halangan) dari suatu ketetapan hukum. Ulama ushul fiqih mendefinisikannya :
            “Aturan yang mengandung ketentuan bahwa sesuatu merupakan sebab bagi suatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang untuknya.”

     
Dari definisi diatas, kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan, atau memilih antara melaksanakan atau meninggalkan, maka hukum wadh'i adalah yang menjelaskan tentang hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib bagi ummat muslim, maka hukum wadh'i menjelaskan bahwa terbenamnya matahari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat magrib.

1.                  Hukum Taklifi

            hukum taklifi adalah hukum thalab (tuntutan) dan takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan. Seperti yang kita ketahui dari pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa tuntutan (thalab) yaitu suatu perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau perintah untuk meninggalkannya. Sedangkan takhyir mengandung kebebasan memilih bagi mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan. Jumhur ulama membagi hukum taklifi menjadi lima yang mereka sebut dengan “ahkam al-taklifi al-khamsah”, yaitu :

1)      Al-wujub (wajib)
Al-wujub atau yang lebih dikenal dengan wajib yaitu hukum yang bersifat mesti (harus) dilakukan. Pada umumnya ulama ushul fiqih menjelaskan kata wajib secara etimologi berarti “tetap”. Sedangkan secara terminologi ialah “Perbuatan yang jika dilaksanakan maka pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan maka ia dikenakan dosa”. contohnya shalat, puasa, zakat, haji (bagi yang sanggup), dan sebagainya.

2)      An-nadb (mandub)
Secara etimologi mandub mempunyai arti “sesuatu yang dianjurkan” karena ia bersifat penting. Sedangkan secara terminologi mandub ialah “apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak akan dicela dan tidak dikenakan dosa”. Bahkan sebagian orang ada juga yang mendefenisikan mandub ini dengan “apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan akan merugi”[2]

3)      Al-hurmah (haram)

Pada umumnya ulama ushul fiqih menjelaskan kata haram secara etimologi berarti “larangan”. Sedangkan secara terminologi ialah “Perbuatan yang yang jika dilaksanakan maka pelakunya dikenakan dosa, dan jika ditinggalkan maka ia diberi pahala”. Contohnya ialah menikahi wanita-wanita yang menjadi mahram, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surah An-nisa ayat 23 :






Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[3]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,…”

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, haram dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : al-muharram lidzatihi dan al-muharram li ghairihi.
a. Al-muharram lidzatihi
Yang dimaksud dengan al-muharram lidzatihi ialah sesuatu yang haram karena zatnya atau sesuatu yang sejak semula dilarang asy-syar'i, karena didalamnya terkandung bahaya yang sangat besar untuk kelestarian hidup manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan utama ditetapkannya syari'at adalah untuk melindungi dan memelihara kehidupan manusia, baik itu agama, jiwa, akal, dan harta. Contoh haram lidzatihi yang mengancam agama ialah haramnya murtad.

b. Al-muharram lighairihi
Adapun yang dimaksud dengan haram lighairihi adalah sesuatu yang haram karena yang lain atau ketentuan haram yang bukan karena zatnya tetapi karena adanya faktor lain yang mengubah menjadi haram. Contohnya ialah melakukan jual beli ketika adzan shalat jum'at sudah berkumandang.



4)      Al-karahah (makruh)
Secara etimologi makruh berarti yang dibenci. Sedangkan dari segi terminologi ialah “apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan akan mendapat dosa”. Bahkan sebagian orang ada juga yang mendefenisikan mandub ini dengan “apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan akan merugi”[4]
Contohnya ialah berkumur-kumur dan memasukan air ke hidung secara berlebihan ketika berpuasa, karena dikhawatirkan akan tertelan sehingga membatalkan puasa. Demikian juga melambat-lambatkan pelaksanaan shalat ashar sampai mendekati waktu shalat maghrib.

5)      Al-ibahah (mubah)
secara etimologi mubah mempunyai arti “melepaskan atau mengizinkan”. Sedangkan dari segi terminologi ialah “apabila dikerjakan  tidak mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa” Menurut sebagian ulama, hukum mubah lebih identik kepada halal atau jaiz (boleh). Contoh perbuatan mubah adalah perbuatan makan, minum, dan berpakaian yang halal.
Meskipun dikatakan bahwa mubah adalah kebebasan untuk memilih berbuat atau tidak berbuat terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai mubah, tetapi dalam kenyataannya kebebasan memilih tersebut hanya merupakan hukum dasar dan tidak bersifat mutlak sama sekali. Dengan kata lain bahwa mubah hanya berlaku untuk sebagian waktu, tempat, siatuasi dan sebagian orang saja.
Misalnya makan dan minum, meskipun hukum dasarnya mubah sehingga orang bisa memilih antara makan dan tidak makan atau minum dan tidak minum, akan tetapi seorang mukallaf tidak boleh meninggalkan makan dan minum sepanjang waktu, karena hal itu akan membawanya pada kematian, yang hukumnya menjadi haram. Demikian juga dengan bermian, hukumnya adalah mubah, tetapi jika orang melakukannya sepanjang waktu sehingga melalaikan kewajiban-kewajiban yang lain, maka perbuatan itu menjadi haram.

2.                  Hukum Wadh’i
            Hukum wadh’i ialah firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’i sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuka sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu hukum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga dimungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’i pembahsan yang berkaitan dengan ’azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal), rukhsah (keringanan), Ash-shihhah (sah) dan al-buthlan (batal).
            Jumhur ulama membagi hukum wadh’i menjadi lima macam,[5] yaitu :
1)      As-sabab
            As-sabab (sebab) menurut Jumhur Ulama adalah Sesuatu yang lahir dan jelas batas-batasnya, dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan definisi ini, ada dua esensi yang terkandung didalamnya, yaitu :
Ø  suatu tidak sah dijadikan sebagai sabab kecuali Allah sendiri yang menjadikannya sebagai sebab. Karena hukum-taklifi merupakan pembebanan dari Allah SWT, maka yang membebani adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah pembuat hukum,  maka Dialah menjadikan sebab-sebab sebagai dasar hukum-hukumnya.
Ø  sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu.[6]
                                                           

2)      Asy-Syarth
            Asy-Syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.
            Ada pun perbedaan antara syarat dengan sabab adalah :  bahwa ditemukan adanya (syarat)  itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang merupakan syaratnya shalat menentukan/ tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Dan adanya dua orang saksi tidak menentukan /tidak  mengakibatkan adanya akad nikah, meskipun keadaannya dua orang saksi merupakan syarat sahnya akad nikah. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya wudhu’, dan akad nikah menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi.[7]

3)      Al-Mani’
            Al-Mani’ (penghalang) ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang dikehendaki  oleh sebab atau hukum. Mani’ sebagai sebab yang metetapkan hukum lain karena adanya ‘illat yang menafikan hikmahnya hukum.[8] Sebagai Contoh hukum Syara’ yang umunm menyatakan, wajib shalat bagi setiap mukallaf, baik laki-laki maupum wanita. Akan tetapi, syara’ juga menetapakan haid dan nifas menjadi penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan selama haid dan nifas.

4)      Al-‘Azimah dan Ar-rukhshah
            Al-‘Azimah dan Ar-rukhshah adalah dua ketentuan yang oleh sebagian besar ulama ushul fiqih dimasukan kepada  kelompok pembahasan hukum wadh’i. Alasan mereka pada hakikatnya ketentuan azimah berkaitan erat dengan keadaan yang normal yang menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum syara’ yang  umum bagi mukallaf. Sementara kireteria rukhshah pada umumnya berkaitan erat dengan keadaan tertentu yang menjadi sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam melaksanakan hukum.

5)      Ash-Shihhah, Al-Buthlan, dan Al-Fasad
            Ash-Shihhah ialah suatu perbuatan yang telah memiliki sabab, suatu sabab yang disebut suatu sah ialah sabab yang menimbulkan musabab atau dampak hukum. Adapun yang dimaksud dengan Al-buthlan (batal) ialah kebalikan dari pengertian sah yaitu, suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua kireteria yang dituntut oleh syara’.
            Dan syarat-syarat ja’liyyah yang rusak (fasad) akan menjadikan sebab rusaknya akad pada pembagian keadaan. Sepeti halnya akad-akad maliyah (transaksi barang) menjadi rusak disebabkan rusaknya syarat pada saat tukar-menukar.

KESIMPULAN
           
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa :
Puncak atau inti dari ilmu ushul fiqih ialah hukum syara’. Hukum syara adalah : jalan yang nyata dan terang yang mengantarkan manusia kepada keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Hukum syara’ berkaitan dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi dibagi menjadi lima bagian atau sering disebut dengan “ahkam at-taklifi al-khomsah”, yaitu : al-wujub (wajib), an-nadb (mandub), al-hurmah (haram), al-karahah (makruh) dan al-ibahah (mubah). Hukum wadh’i dibagi menjadi lima bagian juga, yaitu : As-sabab, Asy-Syarth, Al-Mani’, Al-‘Azimah dan Ar-rukhshah dan Ash-Shihhah, Al-Buthlan, dan Al-Fasad.
            Demikianlah pembahasan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi yang sangat sederhana ini. Untuk menyempurnakan makalah ini kami berharap kritik dan saran yang membangun dari semua peserta diskusi pada hari ini.









DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan.1999, Ushul Fiqh jilid 2, Surabaya: Amzah
Muhammad Abu Zahrah. 1986, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Pirdaus
Rahman Dahlan. 2001, Ushul Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka Muslim
Nasrun Haroen. Ushul Fiqih 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pengetahan.



[1] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Pustaka Muslim, Ushul Fiqh Islam, h. 135-136
[2] Op, cit, h. 138
[3] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

[4] Op, cit, h. 139
[5] Nasrun haroen, logos wacana ilmu dan pengetahan, ushul fiqih 1. h 95-96
[6] Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih. h: 70
[7] Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih. h: 75
[8] Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih. h:77-78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar