HUKUM SYARA’
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata
kuliah
USHUL FIQH

Disusun Oleh : Kelompok 3
Alfadilatu ahmad : 2014.1839
Muhammad Yasin :
2014.1902
Dosen Pembimbing :
Ahmad Rasyid, MA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU
AL-QUR’AN
STAI-PIQ SUMATERA BARAT
2015 M/1436 H
PENDAHULUAN
Ilmu ushul fiqih sudah tidak asing lagi
untuk kita umat Islam . Ilmu ini digunakan mana kala ada permasalahan yang
tidak bisa dipecahkan dengan tinjauan dalil al-qur’an dan hadist , ushul fiqih
ini juga banyak mengandung pebahasan yang sangat kita perlukan dalam praktek
kehidupan kita sehari-hari.
Ilmu yang sering digunakan dalam ushul
fiqih ini diantaranya adalah tentang hukum
syara’ yang mencakup hukum
taklifi dan wadh’i. Maka dari itu pemakalah akan mencoba membahas tentang hukum
syara’ dengan fokus pembahasan :
1. pengertian dan ruang lingkup hukum syara’
2. pembagian hukum syara’
3. hukum taklifi
4. hukum wadh’i
HUKUM SYARA'
A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum
Syara'
Hukum
syara' merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Arab yaitu “al-hukm asy-syar'i”, ini berarti kata
tersebut terdiri dari dua kata yaitu hukum dan syara'. Hukum
secara etimologi yaitu memutuskan
atau mencegah. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hukum mempunyai definisi peraturan yang
dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi semua orang
disuatu masyarakat (negara).
Sedangkan
pengertian hukum syara' secara singkat disebutkan sebagai hukum Islam. Adapun
kata syara’ secara etimologi ialah menuju aliran air, sedangkan
secara terminologi ialah jalan yang nyata dan terang yang mengantarkan
manusia kepada keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat.[1]
Hukum syara’ berkaitan dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Di
kalangan ulama ushul fiqih ayat Al-Qur'an dan hadits Rasulullah Saw, dapat
disebut hukum jika ia mengandung makna perintah dan larangan untuk melakukan
perbuatan, atau mengandung pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan, atau mengadung makna hubungan perbuatan mukallaf dengan suatu sebab,
atau suatu syarat, atau suatu halangan tertentu.
B.
Pembagian Hukum Syara'
Secara
garis besar hukum syara' dibagi kepada dua bagian yaitu : hukum taklifi
dan hukum wadh'i. Dibawah ini akan diberikan penjelasan tentang kedua
hukum tersebut:
1)
Hukum Taklifi ialah Firman Allah yang berbentuk thalab (tuntuan)
dan takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan. Pada umumnya ulama ushul fiqih
mendefinisikan sebagai berikut :
“Sesuatu yang mengandung perintah untuk berbuat atau tidak berbuat
ataupun untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat suatu perbuatan”.
2)
Sedangkan Hukum Wadh'i ialah firman Allah yang berbentuk wadh'i
yaitu ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sabab (sebab), syarth
(sayarat) atau mani' (halangan) dari
suatu ketetapan hukum. Ulama ushul fiqih mendefinisikannya :
“Aturan yang mengandung ketentuan bahwa sesuatu merupakan sebab
bagi suatu yang lain, atau menjadi syarat baginya, atau menjadi penghalang
untuknya.”
Dari definisi diatas, kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat. Jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan, atau memilih antara melaksanakan atau meninggalkan, maka hukum wadh'i adalah yang menjelaskan tentang hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib bagi ummat muslim, maka hukum wadh'i menjelaskan bahwa terbenamnya matahari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat magrib.
1.
Hukum Taklifi
hukum taklifi adalah hukum thalab
(tuntutan) dan takhyir (pilihan) atas suatu perbuatan. Seperti yang kita
ketahui dari pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa tuntutan (thalab)
yaitu suatu perintah untuk melakukan suatu perbuatan atau perintah untuk
meninggalkannya. Sedangkan takhyir mengandung kebebasan memilih bagi
mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat suatu perbuatan. Jumhur ulama membagi
hukum taklifi menjadi lima yang mereka sebut dengan “ahkam al-taklifi
al-khamsah”, yaitu :
1)
Al-wujub (wajib)
Al-wujub
atau yang lebih dikenal dengan wajib yaitu hukum yang bersifat mesti (harus)
dilakukan. Pada umumnya ulama ushul fiqih menjelaskan kata wajib secara etimologi
berarti “tetap”. Sedangkan secara terminologi ialah “Perbuatan
yang jika dilaksanakan maka pelakunya diberi pahala, dan jika ditinggalkan maka
ia dikenakan dosa”. contohnya
shalat, puasa, zakat, haji (bagi yang sanggup), dan sebagainya.
2) An-nadb (mandub)
Secara
etimologi mandub mempunyai arti “sesuatu yang dianjurkan” karena
ia bersifat penting. Sedangkan secara terminologi mandub ialah “apabila dikerjakan mendapat pahala dan
apabila tidak dikerjakan tidak akan dicela dan tidak dikenakan dosa”. Bahkan sebagian orang ada juga yang
mendefenisikan mandub ini dengan “apabila
dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan akan merugi”[2]
3) Al-hurmah (haram)
Pada umumnya
ulama ushul fiqih menjelaskan kata haram secara etimologi berarti “larangan”.
Sedangkan secara terminologi ialah “Perbuatan yang yang jika dilaksanakan
maka pelakunya dikenakan dosa, dan jika ditinggalkan maka ia diberi pahala”. Contohnya
ialah menikahi wanita-wanita yang menjadi mahram, sebagaimana ditegaskan Allah
dalam surah An-nisa ayat 23 :
Artinya : “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[3];
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri,…”
Menurut
jumhur (mayoritas) ulama, haram dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : al-muharram lidzatihi dan al-muharram li ghairihi.
a. Al-muharram
lidzatihi
Yang
dimaksud dengan al-muharram lidzatihi ialah sesuatu yang haram karena zatnya
atau sesuatu yang sejak semula dilarang asy-syar'i, karena didalamnya
terkandung bahaya yang sangat besar untuk kelestarian hidup manusia.
Sebagaimana
diketahui bahwa tujuan utama ditetapkannya syari'at adalah untuk melindungi dan
memelihara kehidupan manusia, baik itu agama, jiwa, akal, dan harta. Contoh
haram lidzatihi yang mengancam agama ialah haramnya murtad.
b. Al-muharram
lighairihi
Adapun
yang dimaksud dengan haram lighairihi adalah sesuatu yang haram karena yang
lain atau ketentuan haram yang bukan karena zatnya tetapi karena adanya faktor
lain yang mengubah menjadi haram. Contohnya ialah melakukan jual beli ketika
adzan shalat jum'at sudah berkumandang.
4) Al-karahah (makruh)
Secara
etimologi makruh berarti yang dibenci. Sedangkan dari segi terminologi
ialah “apabila ditinggalkan mendapat
pahala dan apabila dikerjakan akan mendapat dosa”. Bahkan sebagian orang ada juga yang mendefenisikan mandub ini dengan “apabila ditinggalkan mendapat pahala dan
apabila dikerjakan akan merugi”[4]
Contohnya
ialah berkumur-kumur dan memasukan air ke hidung secara berlebihan ketika
berpuasa, karena dikhawatirkan akan tertelan sehingga membatalkan puasa.
Demikian juga melambat-lambatkan pelaksanaan shalat ashar sampai mendekati
waktu shalat maghrib.
5) Al-ibahah (mubah)
secara etimologi
mubah mempunyai arti “melepaskan atau mengizinkan”. Sedangkan dari segi terminologi
ialah “apabila dikerjakan tidak
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa” Menurut
sebagian ulama, hukum mubah lebih identik kepada halal atau jaiz (boleh).
Contoh perbuatan mubah adalah perbuatan makan, minum, dan berpakaian yang
halal.
Meskipun
dikatakan bahwa mubah adalah kebebasan untuk memilih berbuat atau tidak berbuat
terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai mubah, tetapi dalam kenyataannya
kebebasan memilih tersebut hanya merupakan hukum dasar dan tidak bersifat mutlak
sama sekali. Dengan kata lain bahwa mubah hanya berlaku untuk sebagian waktu,
tempat, siatuasi dan sebagian orang saja.
Misalnya makan
dan minum, meskipun hukum dasarnya mubah sehingga orang bisa memilih antara
makan dan tidak makan atau minum dan tidak minum, akan tetapi seorang mukallaf
tidak boleh meninggalkan makan dan minum sepanjang waktu, karena hal itu akan
membawanya pada kematian, yang hukumnya menjadi haram. Demikian juga dengan
bermian, hukumnya adalah mubah, tetapi jika orang melakukannya sepanjang waktu
sehingga melalaikan kewajiban-kewajiban yang lain, maka perbuatan itu menjadi
haram.
2.
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah
firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab
atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh
karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’i sangat erat kaitannya dengan hukum
taklifi, baik dalam bentuka sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab)
suatu hukum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga
dimungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam
bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana
(mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’i pembahsan
yang berkaitan dengan ’azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal),
rukhsah (keringanan), Ash-shihhah (sah) dan al-buthlan (batal).
Jumhur ulama
membagi hukum wadh’i menjadi lima macam,[5]
yaitu :
1)
As-sabab
As-sabab (sebab)
menurut Jumhur Ulama adalah Sesuatu yang lahir dan jelas batas-batasnya, dijadikan
sebagai tanda bagi wujudnya hukum. Berdasarkan definisi ini, ada dua esensi
yang terkandung didalamnya, yaitu :
Ø suatu tidak sah
dijadikan sebagai sabab kecuali Allah sendiri yang menjadikannya sebagai sebab.
Karena hukum-taklifi merupakan pembebanan dari Allah SWT, maka yang membebani
adalah Allah SWT. Dan jika yang membebani adalah pembuat hukum, maka Dialah menjadikan sebab-sebab sebagai
dasar hukum-hukumnya.
Ø sebab-sebab itu
bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum taklifi, akan tetapi
merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu.[6]
2)
Asy-Syarth
Asy-Syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat
bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat berarti tidak adanya hukum,
tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.
Ada pun perbedaan
antara syarat dengan sabab adalah :
bahwa ditemukan adanya (syarat)
itu tidak memastikan adanya hukum. Oleh karenanya, adanya wudhu’ yang
merupakan syaratnya shalat menentukan/ tidak mengakibatkan wajibnya shalat. Dan
adanya dua orang saksi tidak menentukan /tidak
mengakibatkan adanya akad nikah, meskipun keadaannya dua orang saksi
merupakan syarat sahnya akad nikah. Akan tetapi shalat menjadi tidak sah tanpa adanya
wudhu’, dan akad nikah menjadi tidak sah tanpa adanya dua orang saksi.[7]
3)
Al-Mani’
Al-Mani’ (penghalang)
ialah perkara syara’ yang keberadaannya menafikan tujuan yang
dikehendaki oleh sebab atau hukum. Mani’
sebagai sebab yang metetapkan hukum lain karena adanya ‘illat yang menafikan
hikmahnya hukum.[8]
Sebagai Contoh hukum Syara’ yang umunm menyatakan, wajib shalat bagi
setiap mukallaf, baik laki-laki maupum wanita. Akan tetapi, syara’ juga
menetapakan haid dan nifas menjadi penghalang bagi wanita untuk dikenakan
kewajiban meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan selama haid dan nifas.
4)
Al-‘Azimah dan Ar-rukhshah
Al-‘Azimah dan Ar-rukhshah
adalah dua ketentuan yang oleh sebagian besar ulama ushul fiqih dimasukan
kepada kelompok pembahasan hukum wadh’i.
Alasan mereka pada hakikatnya ketentuan azimah berkaitan erat dengan
keadaan yang normal yang menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum
syara’ yang umum bagi mukallaf.
Sementara kireteria rukhshah pada umumnya berkaitan erat dengan keadaan
tertentu yang menjadi sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam
melaksanakan hukum.
5)
Ash-Shihhah, Al-Buthlan, dan Al-Fasad
Ash-Shihhah ialah
suatu perbuatan yang telah memiliki sabab, suatu sabab yang disebut
suatu sah ialah sabab yang menimbulkan musabab atau dampak
hukum. Adapun yang dimaksud dengan Al-buthlan (batal) ialah kebalikan
dari pengertian sah yaitu, suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua
kireteria yang dituntut oleh syara’.
Dan syarat-syarat
ja’liyyah yang rusak (fasad) akan menjadikan sebab rusaknya akad pada pembagian
keadaan. Sepeti halnya akad-akad maliyah (transaksi barang) menjadi rusak
disebabkan rusaknya syarat pada saat tukar-menukar.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum
taklifi diatas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa :
Puncak atau inti dari ilmu ushul fiqih ialah hukum syara’. Hukum
syara adalah : jalan yang nyata dan terang yang mengantarkan manusia kepada
keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Hukum syara’ berkaitan dengan
hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu: hukum taklifi dan hukum
wadh’i. Hukum taklifi dibagi menjadi lima bagian atau sering disebut dengan
“ahkam at-taklifi al-khomsah”, yaitu : al-wujub (wajib), an-nadb (mandub),
al-hurmah (haram), al-karahah (makruh) dan al-ibahah (mubah). Hukum wadh’i
dibagi menjadi lima bagian juga, yaitu : As-sabab, Asy-Syarth, Al-Mani’, Al-‘Azimah
dan Ar-rukhshah dan Ash-Shihhah, Al-Buthlan, dan Al-Fasad.
Demikianlah
pembahasan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi yang sangat
sederhana ini. Untuk menyempurnakan makalah ini kami berharap kritik dan saran
yang membangun dari semua peserta diskusi pada hari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman Dahlan.1999, Ushul Fiqh jilid 2, Surabaya: Amzah
Muhammad Abu Zahrah. 1986, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Pirdaus
Rahman Dahlan. 2001, Ushul Fiqh Islam, Jakarta: Pustaka
Muslim
Nasrun Haroen. Ushul
Fiqih 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu dan Pengetahan.
[2] Op, cit, h. 138
[3] Maksud ibu di sini
ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak
perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah,
demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang
tidak dalam pemeliharaannya.
[4] Op, cit, h. 139
[5] Nasrun haroen, logos
wacana ilmu dan pengetahan, ushul fiqih 1. h 95-96
[6]
Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih. h: 70
[7]
Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih. h: 75
[8] Muhammad Abu Zahrah, Pustaka Pirdaus, UshulFiqih. h:77-78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar