Rabu, 13 Desember 2017

SEJARAH PERDABAN ISLAM

ARAB PRA ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
SEJARAH PERADABAN ISLAM
                                                                                                             
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQoMTmwM3wxUqmL1KM9qstm9xiA1CaukEC5ivglRbmNJtCHdvpD


DisusunOleh : Kelompok 1
Alfadilatu Ahmad     2014.1839
                                                Ahmad Bahri             2014.


Dosen Pembimbing :
Bujang Maulana,  MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT

2016 M/1437 H

PENDAHULUAN
Mengkaji tentang Islam akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu. Untuk mengkaji tentang Islam, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui kondisi bangsa Arab pra Islam, karena Islam lahir di tengah-tengah bangsa Arab, sehingga kita bisa memperbandingkan kondisi Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Kondisi sosial yang dimaksud adalah kondisi politik, ekonomi, kebudayaan, agama, dan kepercayaan bangsa Arab.
Dalam makalah ini pemakalah akan sedikit membahas tentang sejarah pendidikan islam pada masyarakat arab pra Islam. Untuk lebih lanjut penjelasan mengenai pendidikan islam pada masyarakat arab pra Islam maka pemakalah akan membahas .
a.       Sistem politik dan kemasyarakatan
b.      Sistem kepercayaan dan kebudayaan

PEMBAHASAN
Sejarah Bangsa Arab
Bangsa Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia.Mereka berdomisili disekitar wilayah barat daya benua Asia (al-Janub al-Gharbi min Asia), atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar terdiri dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir).[1]
Sedikit sekali menyisakan wilayah yang layak ditinggali di sekitar pinggirnya, dan daerah itu semuanya dikelilingi laut.Ketika jumlah penduduk kian bertambah, mereka harus mencari lahan baru guna dijadikan tempat tinggal. Mayoritas sejarawan dan peneliti sejarah mencatat, ada dua komunitas bangsa Arab yang pernah tinggal di wilayah Semenanjung Arabia ini, yaitu:
a.       Komunitas pertama adalah bangsa Arab yang datang jauh hari sebelum datangnya islam, sehingga referensi dan fakta sejarah tentang mereka sangat sulit diungkap. Hal ini cukup beralasan, mengingat jauhnya rentang waktu serta tidak ditemukannya indikasi eksistensi mereka dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Sejarah mereka hanya dapat diketahui dari keterangan kitab-kitab samawi, terutama al-Qur’an, Injil, Taurat, dan syair-syair jahiliyah. Bangsa ini selanjutnya dikenal dengan istilah Baidah. Arab baidah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah A’ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk Madyan.[2]
b.      Komunitas kedua adalah bangsa Baqiyah (yang masih ada). Terdiri dari dua suku besar, yaitu Adnaniyin dan Qahthaniyin. Kabilah Adnaniyin berasal dari keturunan Ismail ibn Ibrahim as. Dinamakan Adnaniyin karena nenek moyang dari kabilah ini bernama Adnan, yaitu salah satu keturunan Nabi Ismail. Suku kedua dari bangsa Baqiyah adalah kabilah Qahthan.Garis keturunan Qahthan sampai pada Yaqthan yang dalam kitab taurat disebut Yaqzan. Nassabun (pakar genealogi) mengatakan, bahwa Qahthan adalah nenek moyang suku-suku di negeri Yaman (Ab al-Yamaniyin). Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan Adnaniyin, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyin. Akan tetapi, lama kelamaankedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.[3]
Peradaban Arab Pra Islam
Jazilah arab atau pulau arab adalah satu semenanjung yang terletak di sebelah barat daya asia.Kata Arab secara etimologis berasal dari kata “a’raba” yang berarti bergoyang atau mudah berguncang, dalam tata bahasa Arab (nahwu dan shorof) berubah menjadi i’rab yang berarti perubahan bentuk suku kata sesuai dengan perubahannya. Dalam gambaran yang stereotipe bangsa Arab disebut memiliki temperamen yang panas dan emosi yang labil.[4]
Akan tetapi keistimewaan jazirah Arab adalah tempat lahir sebuah agama, yang pada akhirnya nanti, menjadi agama yang mendunia, yaitu Islam. Untuk melacak asal-usul orang Arab, yang termasuk golongan semit, kita harus merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Ada juga yang menyebut bangsa Arab termasuk ras atau rumpun bangsa  secara Caucasoid, dalam sub ras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar laut tengah, Afrika utara, Armenia, Arabia dan Irania. Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah.
Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.[5].   
Arab Pra Islam
Dilihat dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
1.      Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa  dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2.      Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3.      Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.

A.    Sistem politik dan kemasyarakatan
a.     Kondisi Politik
Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.
Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
b.      Kondisi Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.
Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
1.      Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2.      Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
3.      Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4.      Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.
Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa.
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.
Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.
B.     Sistem kepercayaan dan kebudayaan
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti :
1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.
2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
            Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti :
1)      Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
2)      Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud dihadapannya.
Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.
Banyak lagi tradisi penyembahan yang mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya, berbagai macam yang mereka perbuat demi keyakinan mereka pada saat itu. Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya, serta memberikan manfaat di sisi-Nya.
Selain itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan Ahli Nujum.
Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga diantara mereka yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum”!jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram.
Sekalipun masyarakat Arab jahiliyah seperti itu, toh masih ada sisa-sisa dari agama Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, thawaf disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan Muzdalifah. Memang ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.
Semua gambaran agama dan kebiasaan ini adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari , keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.
Itulah agama-agama dan tradisi yang ada pada saat detik-detik kedatangan islam. Namun agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarakan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas kekehidupan social, politik dan agama.
Sedangkan orang-orang Yahudi, berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah yang membuat hukum ditengah manusia dan menghisab mereka menurut kehendak yang terbetik didalam hati mereka. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah kepada mereka, dan yang semua orang dianjurkan untuk mensucikannya.
Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukkan antara Allah dan Manusia. Kalaupun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, maka tidak ada pengaruh yang berarti. Karena ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan.
Semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka hampir serupa.[6]
Situasi Sosial Dan Pendidikan Masyarakat Arab Sebelum Islam
Al-Qur’an al-karim menggambarkan situasi kehidupan masyarakat arab sebelum islam dalam berbagai ungkapan yang negatif, seperti ungkapan fi dlalal al-mubin (dalam kesesatan yang nyata), Dzulumat (berbuat durhaka,mengabaikan perintah tuhan, dan melanggar larangannya) dan Fasad (berkerusakan dimuka bumi).
Adanya berbagai prilaku menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat al-qur’an, syaikh Alian-nadvi berkesimpulan bahwa pada saat kedatangan islam, masyarakat arab pada khususnya dan dunia pada umumnya berada dalam keadaan Chaos, tak ubahnya seperti keadaan bumi yang baru saja dilanda gempa yang dasyat, disana sisni terdapat bangunan luluh lantak, hancur dan rata dengan tanah, dinding yang retak, tiang yang bergeser dari tempat asalnya, genteng dan kaca-kaca yang hancur berantakan, mayat-mayat yang bergelimpangan, dan harta benda lainnya yang hancur dan lenyapditelan bumi.[7]
Ungkapan tersebut menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik dalam bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap rusaknya sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya.[8]
a.       Dalam bidang akidah, mereka sudah jatuh kedalam mempersekutukan Tuhan atau musyrik, dengan cara mempercayai benda-benda atau segala sesuatu selain Tuhan. Kepercayaan kepada segala sesuatu selain Allah SWT ini merupakan kekeliruan besar.
b.      Dalam bidang ibadah mereka telah memuja atau menyembah berhala-berhala yang mereka bikin sendiri, mereka telah menyembah dan memuja segala sesuatu yang sesungguhnya tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, Atas dasar ketidak cerdasan atau kekeliruannya inilah, maka mereka disebut kaum jahiliyah.
c.       Dalam bidang akhlaq, mereka telah menerapkan pola hidup bebas tanpa batas dalam memperturutkan hawa nafsu syahwat dan nafsu materi. Seperti; berzina, berjudi, mabuk-mabukan, merampok, berkelahi, membungakan uang (riba), bahkan membunuh anak perempuannya hidup-hidup merupakan bagian dari ahlaq mereka.
d.      Dalam bidang ekonomi, mereka menerapkan pola ekonomi menghalalkan segala cara, mengurangi timbangan dan takaran, bersumpah palsu, berdusta, dan praktek ekonomi secara elegal telah membudaya dalam kegiatan ekonomi mereka.
e.       Dalam bidang sosial, masyarakat Arab sebelum Islam terbagi dalam sisitem kasta. Ada kelompok majikan, budak, buruh, dan sebagainya. Sisitem sosial yang didasarkan pada garis keturunan, harta benda, dan jenis kelamin, ini pada gilirannya menampilkan cara-cara perlakuan yang diskriminatif, tidak adil dan saling merugikan.
f.       Dalam bidang politik, masyarakat arab sebelum islam menerapkan pola kekuatan yang bersifat monopoli dan otoriter yang didasarkan setatus sosial, dan penguasaan terhadap aset-aset dimasyarakat. Dengan demikian, pemerintah yang diterapkan cenderung dictator, bahkan tirani, yakni kepemimpinan yang tidak memberikan ruang gerak kepada masyarakat, segala keputusan dan kebijakan ditentukan sepenuhnya oleh pemimpin, tanpa ada kesempatan untuk mempertanyakannya. Siapa saja yang tidak mengikuti aturan dianggap membangkang dan harus dihabisi.
g.      Dalam bidang hukum, masyarakat Arab sebelum islam menerapkan pola hukum yang pada dasarnya sama dengan pola dibidang politik. Hukum dapat diperjual belikan.
h.      Dalam bidang pendidikan, masyarakat Arab sebelum Islam menerapkan pola pendidikan keluarga yang diarahkan pada pemberian pembiasaan, keterampilan, sifat dan karakter yang harus dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan keluarga. Pendidikan dalam arti mencerdaskan masyarakat dengan memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan keraja. Pendidikan dalam arti yang kedua ini hanya menjadi milik kaum elit, itulah sebabnya, pada masa itu jumlahh orang yang cerdas, dapat membaca, menulis dan menghitung jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.[9]
Seluruh bangsa di muka bumi ini kecuali bangsa Arab mempunyai pemerintah yang melindungi kebudayaan yang dipegang teguh hukum yang dianut, filsafat yang diciptakan, serta keindahan yang dijelmakan dalam hasil-hasil pekerjaannya, seperti pembuatan permadani, permainan catur, batu timbangan, seperti filsafat dikalangan bangsa yunani yang membahas hakikat kejadian. Sedangkan bangsa Arab tidak mempunyai raja yang dapat mempersatukannya, melarang tindakan kejam, menahan orang dzalim, mmencegah peperangan; mereka juga tidak mempunyai sedikitpun hasil pekerjaannya, tak ada peninggalan filsafat yang dianutnya, yang ada hanya syair, itupun banyak disokong oleh bangsa bangsa asing, karena bangsa Roma mempunyai syair yang indah baik timbangannya maupun nadanya.[10]
Ibn Khaludin juga memiliki pendapat yang hampir senada dengan pendapat diatas. Misal berpendapat bahwa kejadian yang ada pada bangsa arab adalah suatu hal yang wajar, karena alamnya yang terlalu ganas menjadi bangsa yang gemar merampas dan condong kepada hal-hal yang tak berguna, mereka merampas segala yang dapat diraih dengan menghindari segala resiko, mereka pergi untuk mengembalakan ternaknya dipadang. Bagi suku-suku yang bertempat tinggal di pegunungan yang sukar dilalui akan selamat dari gangguan perampas-perampas ini. Adapun yang tinggal di dataran apabila tidak mempunyai pelindung atau pelindungannya lemah akan menjadi jarahan mereka yang kerap diserang dan dirampas dan akhirnya menjadi perebutan diantara suku-suku yang kuat, dan akan berpindah dari satu penguasa ke penguasa yang lain, yang akan mengakibatkan hancurnya suku tersebut.
Selanjutnya Ibn Khaludin menambahkan bahwa orang-orang arab di zaman jahiliyah selalu berebut kekuasaan, jarang sekali diantara mereka yang mau menyerahkannya haknya kepada orang lain, meskipun kepada ayahnya, saudaranya atau orang yang lebih tua. Oleh sebab itu maka banyaklah jumlah pemimpin-pemimpin yang mengakibatkan berbelitnya peraturan-peraturan yang datang kepada rakyat, baik yang berupa pajak maupun hukum, maka kemajuan tidak akan tercapai bahkan kehancuran.
Aspek Sosial Budaya Arab Pra Islam
Sistem sosial masyarakat Arab pra-Islam mengikuti garis bapak (patriakal) dalam memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama selalu menyebut bapaknya, kalau laki-laki dengan bin, kalau anak perempuan dengan binti. Orang Arab akan bangga dengan rentetan nama dibelakangnya karena menunjukan kabilah dan suku bangsa dari nenek moyang mereka yang sangat dihormati.[11]
Klan atau kabilah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh warga klan yang tua-tua dari salah satu warga berpengaruh yang disebut syaikh. Syarat seorang Syaikh  biasanya dia harus seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada pendukungnya, ia haruslah orang yang berprilaku adil dan bijak, sabar, pemaaf, dan rajin bekerja, diatas itu semua biasanya dia juga harus adil didalam mengambil keputusan. Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur.
Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.  Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya.
Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali. Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil.
Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas, dan peradaban yang hanya berdasarkan pada nilai-nilai materialistik. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah.
Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suatu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.[12]











KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia. Mereka berdomisili disekitar wilayah barat daya benua Asia atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar terdiri dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir).
Adanya berbagai prilaku menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat al-qur’an. Ungkapan tersebut menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik dalam bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap rusaknya sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya.
1.      Bangsa Arab sebelum datangnya islam mempunyai kebudayaan yang baik dan buruk yang telah ada ketika bangsa arab mengalami masa kegelapan.
2.      Kebudayaan yang buruk terutama dalam segi Akhlak dan agama, mereke menyembah berhala, sering melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah diantaranya minum-minuman keras, berjudi, membunuh anak perempuan yang baru lahir, merendahkan harkat martabat wanita. Membunuh anak-anak, jika kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar prasangka bahwa kemiskinan akan mereka alami. Ber-tabarruj (bersolek). Para wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan kecantikannya, lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang memujinya. Lelaki yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan seksual secara terselubung. Prostitusi. Memasang tanda atau bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan bahwa wanita itu adalah pelacur. Fanatisme kabilah atau kaum dan masih banyak lagi.
3.      Tapi dari semua keburukan tersebut masih ada hal yang baik dari bangsa Arab pada saat itu diantaranya: juga berkembangasa ilmu pengetahuan dalam bidang astronomi atau perbintangan, dalam bidang dagang, dan adanya kebiasaan masyarakat yang melekat yaitu rasa solidaritas diantara sesame klan atau suku, dermawan, pantang mundur jika menhadapi sesuatu dan lai-lain.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
http://wikipedia/2010/10/08/sejarah-pendidikan-islam/
Al ‘Usairy Ahmad, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003
SJ Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: UIN Malang, 2008
Su’ud Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
http://blogspot.com/2012/03/seputar-pendidikan-kita.html
http://spistai.blogspot.co.uk/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html
Abudin natta,Sejarah pendidikan islam,(jakarta: ISBN, 2010)



[1] http://wikipedia/2010/10/08/sejarah-pendidikan-islam/
[2] Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), Cet. 2, h. 58
[3] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: UIN Malang, 2008), h. 47
[4] Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 14
[5] http://blogspot.com/2012/03/seputar-pendidikan-kita.html
[6] http://spistai.blogspot.co.uk/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html
[7]Abudin natta,Sejarah pendidikan islam,(jakarta: ISBN, 2010), h.36
[8] Ibid, h.37
[9]Ibid, h.38
[10] Ibid, h.42
[11] Abu Su’ud, op. Cit, h. 15
[12]http://blogspot.com/2012/03/seputar-pendidikan-kita.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar