ARAB PRA ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
SEJARAH PERADABAN ISLAM

DisusunOleh : Kelompok 1
Alfadilatu Ahmad 2014.1839
Ahmad
Bahri 2014.
Dosen Pembimbing
:
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU
AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT
2016
M/1437
H
PENDAHULUAN
Mengkaji tentang Islam
akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena
Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat
yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting
bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala
itu. Untuk mengkaji tentang Islam, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu
mengetahui kondisi bangsa Arab pra Islam, karena Islam lahir di tengah-tengah bangsa
Arab, sehingga kita bisa memperbandingkan kondisi Arab sebelum dan sesudah
kedatangan Islam. Kondisi sosial yang dimaksud adalah kondisi politik, ekonomi,
kebudayaan, agama, dan kepercayaan bangsa Arab.
Dalam makalah ini pemakalah akan sedikit
membahas tentang sejarah pendidikan islam pada masyarakat arab pra Islam. Untuk
lebih lanjut penjelasan mengenai pendidikan islam pada masyarakat arab pra
Islam maka pemakalah akan membahas .
a. Sistem politik dan kemasyarakatan
b. Sistem kepercayaan dan kebudayaan
PEMBAHASAN
Sejarah Bangsa Arab
Bangsa
Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua
Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia.Mereka berdomisili disekitar
wilayah barat daya benua Asia (al-Janub al-Gharbi min Asia), atau yang biasa
dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar terdiri
dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir).[1]
Sedikit
sekali menyisakan wilayah yang layak ditinggali di sekitar pinggirnya, dan
daerah itu semuanya dikelilingi laut.Ketika jumlah penduduk kian bertambah,
mereka harus mencari lahan baru guna dijadikan tempat tinggal. Mayoritas
sejarawan dan peneliti sejarah mencatat, ada dua komunitas bangsa Arab yang
pernah tinggal di wilayah Semenanjung Arabia ini, yaitu:
a.
Komunitas pertama adalah bangsa Arab yang datang jauh
hari sebelum datangnya islam, sehingga referensi dan fakta sejarah tentang
mereka sangat sulit diungkap. Hal ini cukup beralasan, mengingat jauhnya
rentang waktu serta tidak ditemukannya indikasi eksistensi mereka dalam
panggung sejarah kehidupan manusia. Sejarah mereka hanya dapat diketahui dari
keterangan kitab-kitab samawi, terutama al-Qur’an, Injil, Taurat, dan
syair-syair jahiliyah. Bangsa ini selanjutnya dikenal dengan istilah Baidah. Arab
baidah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya
adalah A’ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk Madyan.[2]
b.
Komunitas kedua adalah bangsa Baqiyah (yang masih ada).
Terdiri dari dua suku besar, yaitu Adnaniyin dan Qahthaniyin. Kabilah Adnaniyin
berasal dari keturunan Ismail ibn Ibrahim as. Dinamakan Adnaniyin karena nenek
moyang dari kabilah ini bernama Adnan, yaitu salah satu keturunan Nabi Ismail.
Suku kedua dari bangsa Baqiyah adalah kabilah Qahthan.Garis keturunan Qahthan
sampai pada Yaqthan yang dalam kitab taurat disebut Yaqzan. Nassabun (pakar
genealogi) mengatakan, bahwa Qahthan adalah nenek moyang suku-suku di negeri
Yaman (Ab al-Yamaniyin). Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan
Adnaniyin, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyin. Akan tetapi, lama
kelamaankedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke
selatan atau sebaliknya.[3]
Peradaban Arab Pra Islam
Jazilah
arab atau pulau arab adalah satu semenanjung yang terletak di sebelah barat
daya asia.Kata Arab secara etimologis berasal dari kata “a’raba” yang berarti
bergoyang atau mudah berguncang, dalam tata bahasa Arab (nahwu dan shorof)
berubah menjadi i’rab yang berarti perubahan bentuk suku kata sesuai dengan
perubahannya. Dalam gambaran yang stereotipe bangsa Arab disebut memiliki
temperamen yang panas dan emosi yang labil.[4]
Akan
tetapi keistimewaan jazirah Arab adalah tempat lahir sebuah agama, yang pada
akhirnya nanti, menjadi agama yang mendunia, yaitu Islam. Untuk melacak
asal-usul orang Arab, yang termasuk golongan semit, kita harus merunut jauh ke
belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam
bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Ada juga yang menyebut bangsa Arab termasuk
ras atau rumpun bangsa secara Caucasoid, dalam sub ras Mediterranean yang
anggotanya meliputi wilayah sekitar laut tengah, Afrika utara, Armenia, Arabia
dan Irania. Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab
Baydah dan Arab Bāqiyah.
Arab
Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya
adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah
orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani
‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan
tempat mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman,
Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang
darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah
orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab
sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan
tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin
Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān.
Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan
Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan
Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah
keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.[5].
Arab Pra Islam
Dilihat
dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum
Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :
1.
Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang
sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad,
Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.
2.
Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari
keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.
3.
Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari
keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.
A.
Sistem politik dan kemasyarakatan
a. Kondisi Politik
Bangsa
Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri
sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak
mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah.
Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah
(kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah
seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu
akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia
menganiaya atau dianiaya “.
Pada
hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya
masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi
politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk
menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.
Kedudukan
pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah
harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai
ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti
layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang
pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa
yang membuat pemimpin kabilah itu murka.
Kekuasaan
yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan.
Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan
memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan
itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan
dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan
dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan
mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa
mengadakan perlawanan sedikitpun.
Kadang
persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman
kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak,
seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan
keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka
mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada
dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi
penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair
itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.
b. Kondisi
Masyarakat
Dikalangan
Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara
yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan
sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus
dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji
dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya,
maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.
Karena
jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah
untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api
peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki
tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah
dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus
melalui persetujuan wali wanita. Begitulah gambaran secara ringkas kelas
masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan
mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para
wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih
dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur
dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan
poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu,
perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki
yang diluar kewajaran, seperti :
1.
Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan
lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa
menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2.
Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya.
Yang disebut wanita pelacur.
3.
Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya
bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil.
Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami
menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
4.
Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai
medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang
kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak
lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar
kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah
ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang
dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai
atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa
ada batasannya.
Perzinahan
mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau
golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita
yang memang masih memiliki keagungan jiwa.
Ada
pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya,
karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak
laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa
menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji,
buruk, dan menjijikkan.
Secara
garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan
mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup
layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan
layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang
pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali
rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.
B.
Sistem kepercayaan dan kebudayaan
Kepercayaan
bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il
Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang
intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.
Waktu
terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan
ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada
sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin
Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik,
mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua
orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar
dan wali yang disegani.
Kemudian
Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam
menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang
sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak
penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun
banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas
Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada
saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka
ditempat-tempat tertentu, seperti :
1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal
ditepi laut merah dekat Qudaid.
2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah
itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil
bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari
kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada
agama Ibrahim.
Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang mereka lakukan,
seperti :
1)
Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya,
berkomat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a
untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa
memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
2)
Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala,
merunduk dan bersujud dihadapannya.
Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi
berhala dan menyebut namanya.
Banyak
lagi tradisi penyembahan yang mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya,
berbagai macam yang mereka perbuat demi keyakinan mereka pada saat itu. Bangsa
Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan
bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka
kepada-Nya, serta memberikan manfaat di sisi-Nya.
Selain
itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak
panah dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal,
Orang Pintar dan Ahli Nujum.
Dikalangan
mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga
diantara mereka yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak
tentram jika dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang
berterbangan di padang seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku
minum”!jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram.
Sekalipun
masyarakat Arab jahiliyah seperti itu, toh masih ada sisa-sisa dari agama
Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan
terhadap ka’bah, thawaf disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan
Muzdalifah. Memang ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.
Semua
gambaran agama dan kebiasaan ini adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala
menjadi kegiatan sehari-hari , keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu
menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa
Arab masa itu. Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi,
dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian
kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu
berkembang pesat.
Itulah
agama-agama dan tradisi yang ada pada saat detik-detik kedatangan islam. Namun
agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak.
Orang-orang musyrik yang mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh
sama sekali dari perintah dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan
tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung
banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para
paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarakan
berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas kekehidupan
social, politik dan agama.
Sedangkan
orang-orang Yahudi, berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong.
Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah
yang membuat hukum ditengah manusia dan menghisab mereka menurut kehendak yang
terbetik didalam hati mereka. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan
kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta
pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah kepada mereka,
dan yang semua orang dianjurkan untuk mensucikannya.
Sedangkan
agama Nasrani berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan
menimbulkan pencampuradukkan antara Allah dan Manusia. Kalaupun ada bangsa Arab
yang memeluk agama ini, maka tidak ada pengaruh yang berarti. Karena
ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak
mungkin mereka tinggalkan.
Semua
agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan
masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati,
kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka hampir serupa.[6]
Situasi Sosial Dan Pendidikan Masyarakat Arab
Sebelum Islam
Al-Qur’an
al-karim menggambarkan situasi kehidupan masyarakat arab sebelum islam dalam
berbagai ungkapan yang negatif, seperti ungkapan fi dlalal al-mubin (dalam
kesesatan yang nyata), Dzulumat (berbuat durhaka,mengabaikan perintah tuhan,
dan melanggar larangannya) dan Fasad (berkerusakan dimuka bumi).
Adanya
berbagai prilaku menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam
sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat al-qur’an, syaikh Alian-nadvi berkesimpulan
bahwa pada saat kedatangan islam, masyarakat arab pada khususnya dan dunia pada
umumnya berada dalam keadaan Chaos, tak ubahnya seperti keadaan bumi yang baru
saja dilanda gempa yang dasyat, disana sisni terdapat bangunan luluh lantak,
hancur dan rata dengan tanah, dinding yang retak, tiang yang bergeser dari
tempat asalnya, genteng dan kaca-kaca yang hancur berantakan, mayat-mayat yang
bergelimpangan, dan harta benda lainnya yang hancur dan lenyapditelan bumi.[7]
Ungkapan
tersebut menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik
dalam bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap
rusaknya sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain
sebagainya.[8]
a.
Dalam bidang akidah, mereka sudah jatuh kedalam
mempersekutukan Tuhan atau musyrik, dengan cara mempercayai benda-benda atau
segala sesuatu selain Tuhan. Kepercayaan kepada segala sesuatu selain Allah SWT
ini merupakan kekeliruan besar.
b.
Dalam bidang ibadah mereka telah memuja atau menyembah berhala-berhala
yang mereka bikin sendiri, mereka telah menyembah dan memuja segala sesuatu
yang sesungguhnya tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, Atas
dasar ketidak cerdasan atau kekeliruannya inilah, maka mereka disebut kaum
jahiliyah.
c.
Dalam bidang akhlaq, mereka telah menerapkan pola hidup
bebas tanpa batas dalam memperturutkan hawa nafsu syahwat dan nafsu materi.
Seperti; berzina, berjudi, mabuk-mabukan, merampok, berkelahi, membungakan uang
(riba), bahkan membunuh anak perempuannya hidup-hidup merupakan bagian dari
ahlaq mereka.
d.
Dalam bidang ekonomi, mereka menerapkan pola ekonomi
menghalalkan segala cara, mengurangi timbangan dan takaran, bersumpah palsu,
berdusta, dan praktek ekonomi secara elegal telah membudaya dalam kegiatan
ekonomi mereka.
e.
Dalam bidang sosial, masyarakat Arab sebelum Islam
terbagi dalam sisitem kasta. Ada kelompok majikan, budak, buruh, dan
sebagainya. Sisitem sosial yang didasarkan pada garis keturunan, harta benda,
dan jenis kelamin, ini pada gilirannya menampilkan cara-cara perlakuan yang
diskriminatif, tidak adil dan saling merugikan.
f.
Dalam bidang politik, masyarakat arab sebelum islam
menerapkan pola kekuatan yang bersifat monopoli dan otoriter yang didasarkan
setatus sosial, dan penguasaan terhadap aset-aset dimasyarakat. Dengan
demikian, pemerintah yang diterapkan cenderung dictator, bahkan tirani, yakni
kepemimpinan yang tidak memberikan ruang gerak kepada masyarakat, segala
keputusan dan kebijakan ditentukan sepenuhnya oleh pemimpin, tanpa ada
kesempatan untuk mempertanyakannya. Siapa saja yang tidak mengikuti aturan
dianggap membangkang dan harus dihabisi.
g.
Dalam bidang hukum, masyarakat Arab sebelum islam
menerapkan pola hukum yang pada dasarnya sama dengan pola dibidang politik.
Hukum dapat diperjual belikan.
h.
Dalam bidang pendidikan, masyarakat Arab sebelum Islam
menerapkan pola pendidikan keluarga yang diarahkan pada pemberian pembiasaan,
keterampilan, sifat dan karakter yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
kehidupan keluarga. Pendidikan dalam arti mencerdaskan masyarakat dengan
memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan keraja. Pendidikan dalam arti yang
kedua ini hanya menjadi milik kaum elit, itulah sebabnya, pada masa itu jumlahh
orang yang cerdas, dapat membaca, menulis dan menghitung jumlahnya masih dapat
dihitung dengan jari.[9]
Seluruh
bangsa di muka bumi ini kecuali bangsa Arab mempunyai pemerintah yang
melindungi kebudayaan yang dipegang teguh hukum yang dianut, filsafat yang
diciptakan, serta keindahan yang dijelmakan dalam hasil-hasil pekerjaannya,
seperti pembuatan permadani, permainan catur, batu timbangan, seperti filsafat
dikalangan bangsa yunani yang membahas hakikat kejadian. Sedangkan bangsa Arab
tidak mempunyai raja yang dapat mempersatukannya, melarang tindakan kejam,
menahan orang dzalim, mmencegah peperangan; mereka juga tidak mempunyai
sedikitpun hasil pekerjaannya, tak ada peninggalan filsafat yang dianutnya,
yang ada hanya syair, itupun banyak disokong oleh bangsa bangsa asing, karena
bangsa Roma mempunyai syair yang indah baik timbangannya maupun nadanya.[10]
Ibn
Khaludin juga memiliki pendapat yang hampir senada dengan pendapat diatas.
Misal berpendapat bahwa kejadian yang ada pada bangsa arab adalah suatu hal
yang wajar, karena alamnya yang terlalu ganas menjadi bangsa yang gemar merampas
dan condong kepada hal-hal yang tak berguna, mereka merampas segala yang dapat
diraih dengan menghindari segala resiko, mereka pergi untuk mengembalakan
ternaknya dipadang. Bagi suku-suku yang bertempat tinggal di pegunungan yang
sukar dilalui akan selamat dari gangguan perampas-perampas ini. Adapun yang
tinggal di dataran apabila tidak mempunyai pelindung atau pelindungannya lemah
akan menjadi jarahan mereka yang kerap diserang dan dirampas dan akhirnya
menjadi perebutan diantara suku-suku yang kuat, dan akan berpindah dari satu
penguasa ke penguasa yang lain, yang akan mengakibatkan hancurnya suku
tersebut.
Selanjutnya
Ibn Khaludin menambahkan bahwa orang-orang arab di zaman jahiliyah selalu
berebut kekuasaan, jarang sekali diantara mereka yang mau menyerahkannya haknya
kepada orang lain, meskipun kepada ayahnya, saudaranya atau orang yang lebih
tua. Oleh sebab itu maka banyaklah jumlah pemimpin-pemimpin yang mengakibatkan
berbelitnya peraturan-peraturan yang datang kepada rakyat, baik yang berupa pajak
maupun hukum, maka kemajuan tidak akan tercapai bahkan kehancuran.
Aspek Sosial Budaya Arab Pra Islam
Sistem
sosial masyarakat Arab pra-Islam mengikuti garis bapak (patriakal) dalam
memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama selalu menyebut bapaknya, kalau
laki-laki dengan bin, kalau anak perempuan dengan binti. Orang Arab akan bangga
dengan rentetan nama dibelakangnya karena menunjukan kabilah dan suku bangsa
dari nenek moyang mereka yang sangat dihormati.[11]
Klan
atau kabilah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh warga klan
yang tua-tua dari salah satu warga berpengaruh yang disebut syaikh. Syarat
seorang Syaikh biasanya dia harus seorang yang kaya dan suka berderma
kepada fakir miskin dan kepada pendukungnya, ia haruslah orang yang berprilaku
adil dan bijak, sabar, pemaaf, dan rajin bekerja, diatas itu semua biasanya dia
juga harus adil didalam mengambil keputusan. Sebagian besar daerah Arab adalah
daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur.
Wajar
saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa
akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan.
Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara
pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di
suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka
tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di
tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran
luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah
kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal
suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.
Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas
segalanya.
Seperti
halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung
tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan,
sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang
Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan
kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang
berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena
masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar
kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di
bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu.
Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan
Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak
kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai
kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
Semua
itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali. Sebagai lalu
lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di
Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan
Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar
perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu
banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan
tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban
kecil.
Bahkan
masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para
sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah
utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu
tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan
dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang
mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai
hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu
Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan
bermacam-macam penjuru.
Fakta
di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita
perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang
tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa
yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas, dan
peradaban yang hanya berdasarkan pada nilai-nilai materialistik. Pencapaian
mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti
bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah
kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi
kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian
syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah.
Memang
persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan.
Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis,
meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga
Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang
mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan
mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suatu mukjizat
ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.[12]
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Arab adalah salah
satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas
lainnya adalah Romawi dan Persia. Mereka berdomisili disekitar wilayah barat
daya benua Asia atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung
Arabia sebagian besar terdiri dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di
gurun pasir).
Adanya
berbagai prilaku menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam
sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat al-qur’an. Ungkapan tersebut
menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik dalam
bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap rusaknya
sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain
sebagainya.
1.
Bangsa Arab sebelum datangnya islam mempunyai kebudayaan
yang baik dan buruk yang telah ada ketika bangsa arab mengalami masa kegelapan.
2.
Kebudayaan yang buruk terutama dalam segi Akhlak dan
agama, mereke menyembah berhala, sering melakukan hal-hal yang dilarang oleh
Allah diantaranya minum-minuman keras, berjudi, membunuh anak perempuan yang
baru lahir, merendahkan harkat martabat wanita. Membunuh anak-anak, jika
kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar prasangka bahwa
kemiskinan akan mereka alami. Ber-tabarruj (bersolek). Para wanita terbiasa
bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan kecantikannya, lalu berjalan di
tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang memujinya. Lelaki
yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan
seksual secara terselubung. Prostitusi. Memasang tanda atau bendera merah di pintu
rumah seorang wanita menandakan bahwa wanita itu adalah pelacur. Fanatisme
kabilah atau kaum dan masih banyak lagi.
3.
Tapi dari semua keburukan tersebut masih ada hal yang
baik dari bangsa Arab pada saat itu diantaranya: juga berkembangasa ilmu
pengetahuan dalam bidang astronomi atau perbintangan, dalam bidang dagang, dan
adanya kebiasaan masyarakat yang melekat yaitu rasa solidaritas diantara sesame
klan atau suku, dermawan, pantang mundur jika menhadapi sesuatu dan lai-lain.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
http://wikipedia/2010/10/08/sejarah-pendidikan-islam/
Al
‘Usairy Ahmad, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003
SJ
Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: UIN
Malang, 2008
Su’ud
Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia,
Jakarta: Rineka Cipta, 2003
http://blogspot.com/2012/03/seputar-pendidikan-kita.html
http://spistai.blogspot.co.uk/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html
Abudin
natta,Sejarah pendidikan islam,(jakarta: ISBN, 2010)
[1] http://wikipedia/2010/10/08/sejarah-pendidikan-islam/
[2] Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam,
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), Cet. 2, h. 58
[3] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam
dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: UIN Malang, 2008), h. 47
[4] Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran
dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.
14
[5] http://blogspot.com/2012/03/seputar-pendidikan-kita.html
[6]
http://spistai.blogspot.co.uk/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html
[7]Abudin natta,Sejarah pendidikan islam,(jakarta: ISBN,
2010), h.36
[8] Ibid, h.37
[9]Ibid, h.38
[10] Ibid, h.42
[11] Abu Su’ud, op. Cit, h. 15
[12]http://blogspot.com/2012/03/seputar-pendidikan-kita.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar