Rabu, 13 Desember 2017

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

MAKALAH
KONSEP - KONSEP KEPRIBADIAN GURU
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
SOSIOLOGI PENDIDIKAN



Disusun Oleh : Kelompok 8
Alfadilatu ahmad      : 2014.1839



Dosen Pembimbing :
Muhammad Nur, Siq, M.Pd

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT
2017 M/1438 H

PENDAHULUAN
Guru dalam dunia pendidikan memiliki peran strategis dalam mencapai tujuan pendidikan. Di dalam kehidupan masyarakat,guru juga dipandang sebagai sosok yang seharusnya patut dijadikan seorang suri tauladan.Dalam upaya melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya,guru dituntut untuk memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagaimana yang digariskan dalam undang-undang.Kompetensi ini meliputi kompetensi pedagogik,profesional,sosial dan kepribadian.Pada banyak kebijakan untuk pengembangan guru,berbagai pihak masih berfokus pada kompetensi pedagogik dan profesional, dan sedikit yang menyentuh pada kompetensi kepribadian.

Padahal,kepribadian seorang guru tercermin dari  dari performance guru tersebut dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya melakukan pengajaran dan pendidikan.Sosok seorang guru adalah pribadi yang dekat dengan anak didik karena intensitas pertemuan dan komunikasinya.Sehingga,kepribadian adalah satu hal yang penting untuk juga diperhatikan oleh seorang guru.Penampilan dan pembawaan guru sangat berpengaruh terhadap tanggapan dari peserta didik.Pribadi positif seorang guru tentu akan mendapat tanggapan positif pula dari peserta didik,begitupun sebaliknya.Oleh karenanya,penting untuk  kita membahas tentang kepribadian seorang guru. Pada makalah ini akan di bahas tentang:
a.       Pribadi Guru
b.      Perkembangan pribadi Guru Stereotip Guru
c.       Memilih Jabatan Guru
d.      Ketegangan dalam Profesi keguruan
e.       Gangguan Fisik dan Mental Guru









PEMBAHASAN
Konsep-Konsep kepribadian guru

A.    Pribadi Guru
Ada beberapa pengertian kepribadian menurut ahli sosiologi, diantaranya:
a)    Menurut Horton (1982)
Kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi dan tempramen seseorang. Sikap perasaan ekspresi dan tempramen itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika di hadapan pada situasi tertentu.
b)      Menurut Schever Dan Lamm (1998)
Kepribadian adalah sebagai keseluruhan pola sikap, kebutuhan, ciri-ciri khas dan prilaku seseorang. Pola berarti sesuatu yang sudah menjadi standar atau baku, sehingga kalau di katakan pola sikap, maka sikap itu sudah baku berlaku terus menerus secara konsisten dalam menghadapai situasi yang di hadapi.[1]
Seorang guru memiliki sikap yang dapat mempribadi sehingga dapat dibedakan ia dengan guru yang lain. Kepribadian menurut Zakiah Darajat disebut sebagai sesuatu yang abstrak, sukar dilihat secara nyata, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, atau ucapan ketika menghadapi suatu persoalan. Kepribadian mencakup semua unsur, baik fisik maupun psikis. Sehingga dapat diketahui bahwa setiap tindakan dan tingkah laku seseorang merupakan cerminan dari kepribadian seseorang. Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan dan kepribadian seseorang. Begitu naik kepribadian seseorang maka akan naik pula wibawa orang tersebut.[2]
Guru hendaknya memiliki kepribadian, yaitu diantaranya:
a.        Kepribadian yang mantap dan stabil:
1.      Bertindak sesuai dengan norma hukum
2.      Bertindak sesuai dengan norma sosial 
3.      Memiliki konsisten dalam bertindak
b.      Kepribadian berakhlak mulia:
1.      Berakhlak mulia dan menjadi teladan
2.      Memiliki perilaku yang diteladani oleh peserta didik.
c.         Kepribadian yang dewasa:
1.      Menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik
2.      Memiliki etos kerja sebagai guru
d.      Kepribadian yang arif
1.      Menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah dan masyarakat
2.      Menunjukkan dalam berfikir dan bertindak
e.  Kepribadian yang berwibawa
1. Memiliki perilaku yang bersifat positif terhadap peserta didik
2.  Memiliki perilaku yang disegani

Kepribadian akan turut menentukan apakah para guru dapat disebut sebagai pendidik yang baik atau sebaliknya, justru menjadi perusak anak didiknya. Guru sebagai teladan bagi murid-muridnya harus memiliki sikap dan kepribadian utuh yang dapat dijadikan tokoh panutan idola dalam seluruh segi kehidupannya. Karenanya guru harus selalu berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang positif agar dapat mengangkat kewibawaannya, terutama di depan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus mengimplementasikan nilai-nilai tinggi terutama yang diambilkan dari ajaran agama, misalnya jujur dalam perbuatan dan perkataan.[3]

B.     Perkembangan pribadi Guru Stereotip Guru
Kepribadian sesungguhnya adalah sesuatu yang abstrak, sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala aspek kehidupan. Misalnya dalam tindakan, ucapan, caranya bergaul, berpakaian, dan dalam menghadapi persoalan atau masalah.[4]
Ada 3 faktor yang menentukan dalam perkembangan kepribadian :
1.   Faktor bawaan
Unsur ini terdiri dari bawaan genetic yang menetukan diri fisik primer (warna mata, kulit) selain itu juga kecenderungan-kecenderungan dasar misalnya kepekaan, penyesuaian diri.
2.   Faktor lingkungaFaktor lingkungan seperti sekolah, atau lingkungan sosial/budaya seperti teman, guru, dan lain-lain. Dapat mempengaruhi terbentuknya kepribadian.
3.   Interaksi bawaan dan lingkungan
Interaksi yang terus menerus antara bawaan dan lingkungan menyebabkan timbulnya perasaan aku/diriku dalam diri seseorang.

Kepribadian guru terbentuk atas pengaruh kode kelakuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat dan sifat pekerjaannya. Guru harus menjalankan peranannya menurut kedudukannya dalam berbagai situasi sosial.
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadian. Bagi anak didik yang masih kecil guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Jika tingkah laku atau akhlak guru tidak baik, maka umunya akhak-akhlak anak didik akan rusak, karena anak mudah terpengaruh oleh orang-orang yang dikaguminya. Atau dapat juga menyebabkan anak didik gelisah, cemas atau terganggu jiwa karena ia menemukan contoh yang berbeda atau berlawanan dengan contoh yang selama ini didapatnya di rumah dari orang tuanya.[5]
Menurut Athiyah Al-Abrosy bahwasannya sifat-sifat yang seyogyanya dimiliki seorang guru:
1.      Hubungan guru dengan murid harus baik.
2.        Guru harus selalu memperhatikan murid serta pelajaran mereka.
3.         Guru harus peka terhadap lingkungan sekitar murid.
4.      Guru wajib menjadi contoh/teladan di dalam keadilan dan keindahan serta kemuliaan.
5.      Guru wajib ikhlas di dalam pekerjaannya.
6.      Guru wajib menghubungkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan.
7.      Guru harus selalu membaca dan mengadakan penyelidikan.
8.      Guru harus mampu mengajar bagus penyiapannya dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya.
9.      Guru harus punya niat yang tetap.
10.  Guru harus sehat jasmaninya.
11.  Guru harus punya pribadi yang mantap.

Dalam situasi kelas, guru menghadapi sejumlah murid yang harus dipandangnya sebagai anaknya. Sebaliknya murid-murid akan memperlakukannya sebagai bapak guru dan ibu guru. Berkat kedudukannya, maka guru di dewasakan atau di tuakan, sekalipun menurut usia yang sebenarnya belum pantas menjadi orang tua.
Dalam menjalankan peranannya sebagai guru, ia lambat laun membentuk kepribadiannya. Ia diperlakukan oleh lingkungan sosialnya sebagai guru dan ia bereaksi sebagai guru pula. Jadi ia menjadi guru karena diperlakukan dan belaku sebagai guru.Kedudukannya sebagai guru, akan membatasi kebebasannya serta dapat membatasi pergaulannya. Seorang guru tidak akan diajak melakukan kegiatan yang rasanya kurang layak bagi guru, tetapi seorang guru akan mencari pergaulannya terutama dari kalangan guru yang sependirian dengannya.[6]


C.    Ciri-ciri Stereotip Guru
Stereotip guru adalah hal-hal yang sering dilakukan oleh para guru. Stereotip juga bisa diartikan sebagai sifat kepribadian. Yang berkembang dimasyarakat adalah adanya suatu anggapan bahwa yang stereotip selalu dianggap benar, sedangkan yang diluar stereotip dianggap salah. Ciri-ciri stereotip guru, yaitu:
1.      Guru tidak memperlihatkan kepribadian yang fleksibel
Ia cenderung mempunyai pendirian yang tegas dan mempertahankannya. Ia kurang terbuka bagi pendirian lain yang berbeda karenanya ia sulit melihat kebenaran pendapat orang lain atau cara orang lain memecahkan masalah.
2.      Guru pandai menahan diri
Ia selalu hati-hati dan tidak mudah menceburkan diri dalam pergaulan dengan orang lain.
3.      Guru cenderung untuk menjauhkan diri untuk bergaul dengan orang lain
Karena kecenderungan guru bergaul dengan orang lain, maka orang lainpun sukar untuk mengadakan hubungan akrab dengan guru.
4.      Guru berusaha menjaga harga diri dan merasa keterikatan kelakuannya pada norma-norma yang berkenaan dengan kedudukannya.
Maka dari itu ia berfikir, baginya guru itu orang yang terhormat dan karena itu sebagai guru harus berprilaku sesuai dengan kedudukan itu.
5.        Guru cenderung bersikap otoriter dan ingin “menggurui” dalam diskusi
Ia sebagai guru merasa orang yang serba tahu dalam kelas, sehingga dengan merasa sebagai orang yang serba tahu ia akan akan memperlihatkan sikapnya itu di luar kelas.
6.      Guru pada umumnya tidak didorong oleh motivasi yang kuat untuk menjadi guru
Seseorang yang memasuki lembaga pendidikan guru, tidak sepenuhnya didorong dari hati, melainkan sering karena pilhan lain tertutup, ataupun berkat dorongan dari orang tua.
7.      Guru menunjukan kesediaan untuk berbakti dan berjasa
8.      Guru pada umumnya tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk mencapai kemajuan

Ciri-ciri guru diatas tidak dapat dibuktikan kebenarannya, namun orang akan mempunyai suatu bayangan tertentu tentang pribadi guru pada umumnya, orang akan berinteraksi dengan guru berdasarkan gambaran apa adanya.[7]

D.    Memilih Jabatan Guru
Sebelum kita menetapkan apakah mengajar merupakan tugas guru yang termasuk profesi atau tidak atau bahkan sekedar tergolong pekerjaan biasa, kiranya perlu kita ketahui persyaratan yang dibutuhkan dalam sebuah aktivitas termasuk profesi. Belakangan telah sedemikian meluas istilah profesi atau professional dikenal dalam masyarakat. Namun sering kali pemahamannya kurang tepat.Kini sangat banyak yang menganggap bahwa setiap orang dapat mengerjakan suatu pekerjaan dengan baik, rapi, dan dapat memuaskan orang lain disebut telah melakukan pekerjaan secara professional. Sehingga dengan mudah masyarakat memberikan gelar professional hampir kepada siapa saja, asal dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.Tak jarang kita dengar sebutan koruptor professional, pembantu professional, tukang batu professional, sopir professional dan seterusnya. Benarkah sebutan-sebutan tersebut.[8]
Qomari Anwar mendefinisikan profesi adalah sebuah sebutan yang didapat seseorang setelah mengikuti pendidikan, pelatihan ketrampilan dalam waktu yang cukup lama, sehingga dia punya kewenangan memberikan suatu keputusan mandiri berdasarkan kode etik tertentu, yang harus dipertanggungjawabkan sampai kapanpun. Melakukan tugas profesi memperoleh posisi yang prestisius dan mendapat imbalan gaji yang tinggi. Karenanya tidak semua pekerjaan yang ditekuni oleh seseorang walaupun sudah cukup lama otomatis disebut sebagai tugas profesi. Dalam hal jabatan guru, National Education Association (NEA) (1948) merumuskan bahwa jabatan profesi merupakan jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual, menekuni suatu batang tubuh ilmu tertentu, didahului dengan professional yang lama, memerlukan pelatihan jabatan yang kontinyu, menjanjikan karier bagi anggota secara permanent, mengikuti standar baku mutu tersendiri, lebih mementingkan layanan kepada masyarakat dibanding dengan mencari keuntungan sendiri, dan memiliki suatu organisasi professional yang kuat dan dapat melakukan control terhadap anggota yang melakukan penyimpangan. Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas kini muncul pertanyaan: Apakah tugas mengajar atau jabatan guru dapat termasuk jabatan profesi?
Bisa jadi pertanyaan di atas memicu adanya jawaban yang beraneka ragam berdasarkan kenyataan yang dialami oleh para guru di lapangan. Namun Stinnett menegaskan bahawa jabatan guru sudah dianggap memenuhi criteria jabatan professional, bahkan mengajar bisa disebut sebagai ibu dari segala profesi. Apalagi setelah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen, maka jabatan guru tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapapun. Karena dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut, jabatan guru sudah merupakan jabatan profesi yang setara dengan jabatan-jabatan profesi lainnya seperti Dokter, Perawat dan lain sebagainya.
Kalau dulu menjadi guru adalah pilihan terakhir ketika pilihan-pilihan utama tidak dapat tercapai, maka dengan diperhatikannya kesejahteraan guru oleh pemerintah, menjadi guru adalah sebuah pilihan yang utama. Jabatan guru merupakan jabatan terhormat dimasyarakat disatu sisi juga menjanjikan masa depan yang lebih terjamin dibanding profesi-profesi lainnya.[9]
\


E.     Ketegangan dalam Profesi keguruan
Setiap pekerjaan mengandung aspek-aspek yang dapat menimbulkan ketegangan. Ketegangan itu, tidak hanya ditentukan oleh sifat pekerjaan itu, akan tetapi juga bergantung pada orang yang melakukannya. Ketegangan timbul, sebagai akibat hambatan untuk mencari kepuasan yang dicari individu dari kedudukannya. Karena sesungguhnya setiap orang ingin mencari kepuasan dalam pekerjaannya
Sifat ketegangan itu bergantung pada apa yang ingin dicapai seseorang dalam pekerjaannya. Kepuasan yang dicari oleh setiap individu berbeda-beda. Pekerjaan yang dapat memberi kepuasan kepada sesorang belum tentu akan memberi kepuasan kepada orang lain. Apa yang menimbulkan ketegangan bagi seseorang mungkin tidak mempunyai pengaruh terhadap orang lain.[10]
Walaupun tugas yang mulia sebagai guru, akan tetapi tidak selalu memberi kepuasan yang dicari orang dalam jabatannya. Sebetulnya, apa  yang diharapkan seorang guru dari jabatannya?
Yang diharapkan oleh seorang guru dari jabatannya, antara lain:
1.      Keuntungan ekonomis, imbalan, finansial, gaji atau uang.Gaji pekerja atau pegawai pada umumnya tidak tinggi dibandingkan dengan gaji orang di negara-negara yang maju. Secara finansial, jabatan guru tidak akan membuat seorang jadi kaya.Guru-guru pada umumnya tidak begitu melibatkan diri dalam usaha mencari uang, namun menginginkan adanya jaminan ekonomis,  agar dapat menutupi biaya kehidupan sehari-hari menurut keperluannya.Gaji yang tinggi memberi kesempatan untuk menabung, mendirikan rumah, membiaya pendidikan anak, dan sebagainya.Untuk mencari jaminan ini, guru atau anggota keluarganya sering terpaksa mencari sumber-sumber finansial lainnya. Jadi aspek finansial dapat menimbulkan ketegangan dikalangan guru.
2.        Status atau kedudukan yang terhormat didalam masyarakat.Guru tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai statusnya di tengah-tengah jabatan lain. Guru banyak berasal dari golongan rendah atau menengah rendah, dan memandang jabatan sebagai guru sebagai jabatan untuk mendapatkan status yang lebih tinggi. Status guru yang tidak begitu tinggi dalam mata masyarakat dan status yang tidak jelas bagi guru sendiri, mungkin akan mengecewakan dan dapat mengganggu kesetabilan kepribadiannya. Status guru yang tidak jelas ini, dapat menjadi sumber ketegangan bagi orang yang mencari kenaikan statusnya melalui jabatannya.
3.      Otoritas, kewibaan, kekuasaan atas orang lain (peserta didik). Sumber ketegangan lain bagi gurru adalah otoritas guru untuk menghukum atau memberi penghargaan kepada siswanya. Tidak selalu sama pendapat masyarakat apa yang harus dihargai atau dihukum, sehingga menimbulkan ketegangan. Misalnya, jika melihat ada anak yang merokok, kemudian guru menghukumnya. Sebagian orang tua ada yang menganggap hukuman itu terlalu keras atau tidak pada tempatnya, sebaliknya ada juga orang tua yang menginginkan agar anaknya diberi hukuman yang keras atas perlakuannya. Demikianlah guru berada pada titik silang berbagai harapan dan tuntutan yakni dari pihak orang tua dan masyarakat, dari pihak kepala sekolah dan atasannya. Guru diharapkan agar mematuhi berbagai tuntutan dan berusaha melayani permintaan berbagai pihak yang mungkin saling bertentangan sehingga dapat menimbulkan ketegangan pada guru.
4.      Status Profesional. Tanpa melalui pendidikan keguruan, seseorang dapat mengajar. Berbeda dengan profesi lainnya seperti kedokteran atau hukum. Diadakannya akta IV dapat dipandang sebagai pengakuan atas perlunya pendidikan khusus keguruan agar dapat mengajar dengan tanggung jawab. Namun sampai saat ini, yang menjadi ketegangan guru, apakah pekerjaan guru dapat diakui sebagai profesi.
5.      Tanggung jawab (pekerjaan) guru di dalam kelas. Di dalam kelas guru diuji kemampuannya, kesanggupannya untuk mengatur proses belajar mengajar, gangguan disiplin, kenakalan, kemalasan, ketidak mampuan anak dalam belajar dapat menjadi sumber ketegangan dan frustasi bagi guru.
          Dirasakan ada dan tidaknya ketegangan, bergantung kepada kepuasan yang dicari seorang guru dalam profesinya. Keberhasilan guru dalam membantu anak dalam pelajarnnya akan memberi kepuasan bagi guru yang menjunjung tinggi profesi kegurannya dan kurang menghiraukan penghargaan finansial yang diperolehnya.[11]



F.     Gangguan Fisik dan Mental Guru
Berdasarkan penelitian guru sangat rentan terhadap penyakit yang berhubungan dengan radang tenggorok sampai sariawan. Hal ini dikarenakan intensitas mengajar yang tinggi tanpa ditopang dengan asupan vitamin yang memadai, akhirnya yang terjadi system immune ( kekebalan ) menurun dan ia menjadi gampang terserang berbagai macam penyakit, terutama dua penyakit di atas.
Disamping factor kesehatan fisik yang terganggu, para guru juga mengalami banyak gangguan mentalnya. Ada kemungkinan, menurut pendapat sejumlah peneliti, bahwa tidak adanya hidup kekeluargaan yang normal dan frustasi dalam hubungan seks yang normal turut menambah gangguan mental guru-guru wanita yang tidak kawin. Guru pria dianggap mempunyai mental yang lebih stabil bila mereka mempunyai keluarga yang normal.
Berdasarkan penelitian itu dapat dibuktikan adanya guru yang mengalami gangguan mental, bahwa ada diantaranya yang memerlukan perawatan psikiater. Akan tetapi penelitian itu tidak menunjukkan apakah gangguan mental itu lebih banyak terdapat di kalangan guru dibandingkan dengan profesi lain. Juga tidak diketahui apakah gangguan mental itu telah ada pada calon guru, nyata atau laten, sebelum ia melakukan profesinya ataukah gangguan mental itu timbul sebagai akibat pekerjaannya sebagai guru. Selanjutnya tidak diketahui hingga manakah gangguan mental itu merugikan murid dan proses belajar mengajar.[12]













KESIMPULAN
Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Kepribadian adalah keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi dan tempramen seseorang, hanya dapat diketahui lewat penampilan, tindakan, atau ucapan ketika menghadapi suatu pesroalan.
Ciri-ciri stereotip guru, yaitu:
1.    Guru tidak memperlihatkan kepribadian yang fleksibel
2.    Guru pandai menahan diri
3.    Guru cenderung untuk menjauhkan diri untuk bergaul dengan orang lain
4.    Guru berusaha menjaga harga diri dan merasa keterikatan kelakuannya pada norma-norma yang berkenaan dengan kedudukannya.
5.    Guru cenderung bersikap otoriter dan ingin “menggurui” dalam diskusi
6.    Guru pada umumnya tidak di dorong oleh motivasi yang kuat untuk menjadi guru
7.    Guru menunjukan kesediaan untuk berbakti dan berjasa
8.    Guru pada umumnya tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk mencapai kemajuan.










DAFTAR KEPUSTAKAAN
S. Nasution, Prof.Dr, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, cetakan keempat.
Gunawan, Hary. 2000. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Djamaah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interksi Edukatif. Jakarta : Rineka Cipta
Robinson, Philp. 2002. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press
Gunawan, Ary. 2006.Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang  Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta





[1]S. Nasution, Prof.Dr, Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, cetakan keempat, HAL. 53
[2]Ibid., HAL, 56
[3]Ibid., hal. 59
[4]Gunawan, Hary. 2000. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, hal. 78
[5]Ibid., hla. 80
[6]Djamaah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interksi Edukatif. Jakarta : Rineka Cipta, hal. 45
[7]Ibid., hal. 46
[8]Robinson, Philip. 2002. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press, hal. 55

[9] Ibid., hal. 57
[12]Gunawan, Ary. 2006.Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang  Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, hal 40



Tidak ada komentar:

Posting Komentar