Rabu, 13 Desember 2017

KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PADA
SEKOLAH-SEKOLAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN
                                                                                                             
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQoMTmwM3wxUqmL1KM9qstm9xiA1CaukEC5ivglRbmNJtCHdvpD

Disusun Oleh : Kelompok 13
Deni    Candra           2013.1830
                                                Alfadilatu Ahmad     2014.1839


Dosen Pembimbing :
Bujang Maulana,  MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT

2016 M/1438 H

PENDAHULUAN
Dilihat dari sejarahnya, Pendidikan Agama sejak Indonesia merdeka tahun 1945 telah diajarkan di sekolah-sekolah negeri.  Pada masa kabinet RI pertama tahun  1945, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara telah mengirimkan surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan bahwa pelajaran budi pekerti yang  telah ada pada masa penjajahan Jepang tetap diperkenankan dan diganti namanya menjadi pelajaran Agama.   Pada saat tersebut, pendidikan agama belum wajib diberikan pada sekolah-sekolah umum, namun bersifat sukarela/fakultatif, dan tidak menjadi penentu kenaikan/kelulusan peserta didik.
Pendidikan Agama berstatus mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah umum mulai SD sampai dengan Perguruan Tinggi berdasarkan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab I Pasal I yang berbunyi:”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”. Peraturan ini keluar dengan tanpa protes, setelah penumpasan PKI
Pelaksanaan Pendidikan Agama pada umumnya  di sekolah-sekolah umum tersebut semakin kokoh oleh berbagai terbitnya perundang-undangan selanjutnya, hingga lahirnya UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih menjamin pemenuhan pendidikan agama kepada peserta didik.  Dan diikuti dengan lahirnya peraturan-peraturan selanjutnya sampai dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah.
Dengan demikian, pembelajaran Pendidikan Agama sangatlah penting mengingat bahwa pembelajaran agama sejatinya untuk membentuk perilaku keagamaan atau moralitas peserta didik sehingga akhirnya terbentuk masyarakat beradab yang Islami.
Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah yang dapat mensiasati tantangan atau hal-hal yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian PAI
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiaapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (kurikulum PAI, 3 : 2002).
Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat sederet respons kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.
Memang pola pembelajaran tersebut bukanlah khas pola pendidikan agama. Pendidikan secara umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku pendidikan negara kita yang juga mengidap masalah yang sama. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat  dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga yang muncul uniform-sentralistik kurikulum, model hafalan dan menolong, materi ajar yang banyak, serta kurang menekankan pada penbentukan karakter bangsa.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup Al-Qur’an dan Al-Hadist, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselerasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).
Jadi pelaksanaan pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran  agama Islam melalui kegiatan bimbingan ditetapkan.[1]
B.     Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI
Sebagai bangsa indonesia kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitupendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesiadan berdasarkan pada pancasila dan UUD 45. Dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional tersebut dikelompokan kedalam berbagai jenis sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat peserta didik, keluasaan dan kedalaman bahan pengajaran.
Dengan demikian, sisitem pendidikan khususnya islam, secara macro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang berdasarkan ajaran islam dan pendekatan sistematik, sehingga dalam pelaksanaan opreasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pra dasar, menengah atau perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalitas dalam kualitas ke ilmu pengetahuan dan keteknologian yang makin optimal, yang  mana tiap tingkat, keimanan dan ketakwaan kepada allah akan meninggika derajat lebi tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia indonesia indonesia seutuhnya dan seluruh mansyarakat indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka jelaslah tersirat dalam rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat tinggi nilainya karena pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan jasmaniayah, seimbang, selaras dan serasi antara dunia dan akhirat dan sebagainya yang mampu menjadi pemeran aktif dalam pembangunan.[2]
Pendidikan agama wajib dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur penanggung jawab pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri pancasilayang kita cintai ini bukan semata-mata panggilan misional yang mengikat seluruh bangsa untuk menyukseskan, seperti halnya dengan komponen dasar pendidikan lainya, misalnya PMP< pendidikan P-4, PSPB yang satu sama lain harus saling mengembangkan dan berkaitan atau saling mengacu, meskipun pada masing-masing lingkungan tersebut intensitas pengaruh dan efektifnya tidak sama karena berbagai faktor dan fasilitas yang berbeda.
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :
1.      Dasar ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Dasar structural/konstitusional, yaitu UUD ’45 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
3.      Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[3]

C.    Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Pemahaman tentang pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu Pendidikan Agama Islam sebagai aktivitas dan Pendidikan Agama Islam sebagai fenomena. Dalam kaitan aktivitas adalah bahwa pendidikan agama itu menjadi sebuah pekerjaan yang diorganisir sedemikian rupa sehingga menjadi kegiatan yang memiliki tujuan, usaha mencapai tujuan, teknik atau metode pendidikan, sarana-prasarana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan terselenggaranya usaha mencapai target yang ditetapkan menyangkut dengan Pendidikan Agama Islam tersebut. Sedangkan sebagai fenomena ini maksudnya bagaimana agar nilai-nilai pendidikan Islam itu menjadi sesuatu yang dibiasakan dalam kehidupan sehingga membentuk sebuah tatanan dan iklim dalam kehidupan sehari-hari.
Munculnya berbagai pemikiran dan kebijakan tentang Pembinaan PendidikanAgama Islam secara terpadu pada sekolah umum, pengembangan dan peningkatan kualitas Madrasah, Pesantren, IAIN/STAIN, kegiatan Pesantren Kilat di sekolah umum, serta pendidikan agama Islam di perguruan tinggi dan sebagainya,adalah beberapa contoh manifestasi dari usaha-usaha ahli dan pemerhati pendidikn agama Islam agar pelaksanaan pendidikan Islam tersebut berjalan dengan efektif sehingga pencapaian hasil yang diharapkan dapat terwujud secara maksimal.
Dalam kaitan itulah sehingga Kurikulum Pendidikan Agama Islam itu dikembangkan dan dibina sehingga pelaksanaannya terorganisir sebagaimana mestinya. Termasuk dalam pengoptimalan dan pensejajaran Pendidikan Agama Islam dengan mata pelajaran lain di setiap sekolah, maka secara nasional Pendidikan Agama Islam ini menjadi mata pelajaran wajib yang harus diberikan, sehingga kedudukannya sama dengan Pancasila dan Bahasa Indonesia yakni mata pelajaran pembentukan kepribadian bangsa.[4]
Hal ini diberikan adalah untuk memberi bekal agar anak didik di setiap sekolah memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi kepribadian mereka yakni yang akan menghantarkan mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia yang mampu menghargai dirinya, keluarganya, masyarakatnya, malah dapat menjalin hubungan baik dengan semua pemeluk agama termasuk dengan penduduk yang non-muslim.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, sikap religius telah dimiliki bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala yaitu sebelum kemerdekaan. Bekas-bekas peninggalan sejarah menunjukkan bukti nyata terhadap sikap beragama tersebut.
Ada beberapa fase tentang pelaksanaan pendidikan agama ini, yaitu :
a.       fase 1945-1965
Sesudah Kemerdeaan Indonesia diproklamirkan, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Ketuhana Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila. Sila ini merupakan manifestasi dari sikap hidup religius tersebut. Salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah Negara berdasarkan atas Ketuhana Yang Maha Esa, atas dasar itu pulalah didalam batang tubuh Undang Undang Dasar 1945 diatur hal yang berkenaan dengan ketuhanan, yakni pada pasal 29 ayat 1 dan 2.
b.      Fase 1966-1988
Setelah pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965 berhasil ditumpas, pemerintah dan masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan agama, sebab disadari bahwa dengan bermentalkan agama yang kuat bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunis.
Melalui sidang MPRS tanggal 5 uli 1966 dihasilkan TAP MPRSNo.XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan dan kebudayaan. Bab I pasal I dari TAP MPRS tersebut berbunyi”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib disekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai Univertsitas-Universitas Negeri’’.[5]
Ketetapan MPRS tahun 1966 selanjutnya di ikuti dengan peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967, menetapkan bahwa kelas I dan II SD diberikan matapelajaran agama sebanyak 2 jam perminggu, kelas III sebanyak 3 jam perminggu, kelas IV keatas sebanyak 4 jam perminggu hal itu juga berlaku pada SMP dan SMA.Untuk Universitas dan Perguruan tinggi lainnya, mata kuliah agama diberikan 2 jam perminggu.
Pada akhir tahun 1970, Menteri Agama berusaha mengubah kurikulum pengajaran agama dengan tujuan agar semua kelas tertinggi SD dan SMP mendapat 6 jam pelajaran agama perminggu.Tetapi usaha tersebut tidak berhasil, karena Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak menyetujuinya. Meskipun begitu pendidikan agama sebagai salah satu bidang studi yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah-sekolah negeri tetap dibina dan digalakkan dalam usaha mangembangkan kehidupan beragama.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya, yakni lahirnya TAP MPR 1983, dalam menyusun tentang GBHN, nampaknya pemerintahan Orde Baru memiliki tekad dan semangat dalam mengembangkan kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia, sehingga menempatkan pendidikan agama sebagai materi pelajaran yang benar-benar diperhitungkan dalam proses pembelajaran disekolah-sekolah umum. Karena pendidikan agama dijadikan sebagai salah satu pelajaran yang akan membentuk kepribadian anak didik.
c.       Fase 1989-2002
Pada tahun 1989, Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-Undang Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan agar Indonesia memiliki landasan konstitusi dalam pelaksanaan pendidikan termasuk dalam memperkuat kembali posisi mata pelajaran agama disekolah umum. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 39 Ayat 2, yakni:Isi Kurikulum setiap jenis dan jalur pendidikan wajib memuat pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.[6]
Dari pernyataan demikian mengandung arti bahwa pendidikan agama adalah dasar dan inti kurikulum pendidikan Nasional yang tidak bisa dipisahkan dari bidang studi wajib lainnya. Kemudian Bab V Pasal 9 Ayat 1 PP omor 27 tahun 1990 sebagai turunan UUSPN nomor 2 tahun1989 ini yang manyatakan bahwa pelaksanaan Pendidikan agama tidak hanya diajarkan dari mulai kelas 1 SD, tetapi Pendidikan agama sudah wajib sejak taman kanak-kanak.
Pemberlakuan USPN nomor 2 tahun 1989 pada Pasal 39 Ayat 2 yang menegaskan bahwa: Pendidikan agama harus merupakan usaha memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik, yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan umat beragama dalam masyarakat untuk menciptakan persatuan Nasional.
Dengan adanya perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan agama, sebagaimana tertera dalam USPN yang dijiwai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka stasus pendidikan agama tidak dibedakan lagi dari pendidikan pada umumnya, dengan demikian pendidikan agama disekolah umum sudah kuat. Bahkan Undang Undang ini sebenarnya sudah dapat menjadi landasan bahwa pendidikan agama harus menjadi dasar dan prinsip filosofis pendidikan secara menyeluruh sehingga agama harus dijadikan prinsip, ikatan dan iklim pendidikan.
d.      Fase 2003-sekarang.
Pada tanggal 8juli 2003, Preside Megawati Soekarno Putri menanda tangani pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia (Sisdiknas). Secara umum, pada satu sisi Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini sarat akan nuansa nilai-nilai agama. Kemudian pada sisi lain, secara eksplisit, Undang-Undang ini menegaskan kedudukan kelembagaan pendidikan agama dan pelaksanaan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib untuk setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan agama sebagai mata pelajaran, BabV Pasal 12 Ayat 2 menegaskan bahwa “Setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yag dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama.[7]
Kemudian pada Pasal yang lain, yaitu pada Pasal 37 Ayat 1dan 2, mempertegas secara eksplisit posisi mata pelajaran agama dimana dinyatakan bahwa kurikulum satuan pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi wajib memuat pendidikan agama.
Pada tahun 2005, pemerintah mengeluarkan peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan (SPN) yang mencakup standar tentang isi, proses, kompensi lulusan, pendidikan dan tenaga pendidikan. Artinya pasal-pasal yang mengatur seluruh standar tersebut, pendidikan agama, baik secara kelembagaan maupun bidang studi, tidak dibedakan lagi dengan pendidikna umum. Dengan demikian terlihat jelas bahwa posisi atau keberadaan pendidikan agama semakin kuat dan di jamin dalam Perundang-undangan dalan Pendidikan Nasional Indonesia.
D.    Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI  di Sekolah
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung disekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchori menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan disebabkan karena praktek pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-voletif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama atau dalam praktek pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dri pendiikan agama adalah pendidikan moral.[8]
Dalam pelaksanaan progam pendidikan agama diberbagai sekolah umum, belum seperti yang kita harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana fisik dan non fisik. Disamping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental spiritual dan moral. Padahal fasilitas dasarnya telah disediakan oleh pemerintah melalui Tap-Tap MPR, pengaturan perundangan lainya, serta berbagai proyek pembangunan sektor agama dan pendidikan.
Beberapa faktor yang menghambat pendidikan agama :
1.      Faktor-faktor eksternal
a.       Timbulnya sikap orang tua dibeberapa lingkungan sekitar yang kurang menyadari tentang pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan pendidikan agama di sekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20 jam di luar rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidik anaknya 2 jam per minggu.
b.      Situasi lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai raga bentuknya, seperti judi, tontonan porno dan maksiat-maksiat lainnya. Situasi yang demikian dapat melemahkan daya konsentrasi berfikir dan berakhlaq mulia, serta mengurangi gaya belajar, bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.
c.       Adanya gagasan baru dari para ilmuan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara latah mempraktekan makna yang keliru atats kata-kata yang terobosan menjadi mengambil jalan pintas dalam mengejar cita-citanya tanpa melihat cara-cara yang halal dan haram, seprti mencontek, membeli soal-soal ujian akhir, perolehan nilai secara aspal, bahkan ada yang menghalalkan cara apapun seprti doktrin komunisme.
d.      Timbulnya sikap frustasi dikalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja.
e.       Serbuan dampak kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negri semakin melenturkan perasan religius dan meleberkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan arah dan pemukiman yang baru.

2.      Faktor-faktor internal
a.       Guru kurang kompeten utnuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tanpa menekuni tugas sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan pendidikan.
b.      Pendekatan metologi guru masih terpaku kepada orientasi tradisionali, sehingga tidak mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
c.       Kurangnya rasa solidaritas antra guru agama dengan guru - guru bidang studi umum, sehingga timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan pendidikan agama tersendat-sendat dan kurang terpadu.
d.      Kurangnya waktu persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukan oleh usaha nonguru untuk mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah suasta.
e.       Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam situasi informal di luar kelas.[9]

                                                              KESIMPULAN
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Fakta historis memperlihatkan bahwa pendidikan agama di sekolah umum, mulai masa pemerintahan Belanda sampai sekarang, memiliki sejarah dan dinamika yang cukup panjang. Pada masa kolonial Belanda, pendidikan agama belum mendapatkan tempat sebagai mata pelajaran yang bersifat formal di sekolah umum. Kemudian pada masa penjajahan Jepang sekali pun pelaksanaan pendidikan Islam di berikan kebebasan namun secara umum pelaksanaan pendidikan dapat dikatakan terbengkalai, sebab sekolah-sekolah lebih diarahkan pemerintahan untuk kepentingan persiapan perang seperti gerak jalan, kerja bakti (Romusa) dan berbgai kepentingan lainnya.
Secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatakan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengalaman, peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Alloh Swt, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Majid Abdul, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT          REMAJA ROSDAKARYA, 2004,
Djamaludin Drs., Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999,
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, 2006, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam – Departemen Agama RI
Syafaruddin dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006).
Muhaimin Prof. Dr., M.A., Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010,


[1] Abdul Majid, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004, hlm, 131
[2] Drs. H. Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999, hlm, 38
[3] Abdul Majid, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004, hlm,38
[4] Dapat dilihat Keputusan Mendiknas No. 428 Tahun 2003
[5] Syafaruddin dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006)., h. 58
[6] Lihat Undang-undang No 2 Tahun 1989.
[7] Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
[8] Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010, hlm, 23
[9] Drs. H. Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999, hlm, 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar