PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PADA
SEKOLAH-SEKOLAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN

Disusun Oleh : Kelompok 13
Deni Candra 2013.1830
Alfadilatu Ahmad 2014.1839
Dosen Pembimbing
:
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU
AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT
2016
M/1438
H
Dilihat dari
sejarahnya, Pendidikan Agama sejak Indonesia merdeka tahun 1945 telah diajarkan
di sekolah-sekolah negeri. Pada masa kabinet RI pertama tahun 1945,
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar Dewantara telah
mengirimkan surat edaran ke daerah-daerah yang isinya menyatakan bahwa
pelajaran budi pekerti yang telah ada pada masa penjajahan Jepang tetap
diperkenankan dan diganti namanya menjadi pelajaran Agama. Pada saat
tersebut, pendidikan agama belum wajib diberikan pada sekolah-sekolah umum,
namun bersifat sukarela/fakultatif, dan tidak menjadi penentu
kenaikan/kelulusan peserta didik.
Pendidikan
Agama berstatus mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah umum mulai SD sampai
dengan Perguruan Tinggi berdasarkan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 Bab I Pasal
I yang berbunyi:”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas-Universitas
Negeri”. Peraturan ini keluar dengan tanpa protes, setelah penumpasan PKI
Pelaksanaan
Pendidikan Agama pada umumnya di
sekolah-sekolah umum tersebut semakin kokoh oleh berbagai terbitnya
perundang-undangan selanjutnya, hingga lahirnya UU nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang lebih menjamin pemenuhan pendidikan agama
kepada peserta didik. Dan diikuti dengan
lahirnya peraturan-peraturan selanjutnya sampai dengan terbitnya Peraturan
Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada
Sekolah.
Dengan
demikian, pembelajaran Pendidikan Agama sangatlah penting mengingat bahwa
pembelajaran agama sejatinya untuk membentuk perilaku keagamaan atau moralitas
peserta didik sehingga akhirnya terbentuk masyarakat beradab yang Islami.
Oleh karena
itu, perlu dirumuskan strategi penyelenggaraan pendidikan agama Islam di
sekolah yang dapat mensiasati tantangan atau hal-hal yang menjadi kendala dalam
penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian PAI
Pendidikan
agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiaapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam,
dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa (kurikulum PAI, 3 : 2002).
Pendidikan
agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya,
penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat
sederet respons kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian
kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan
mengerjakan ujian tertulis dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.
Memang pola
pembelajaran tersebut bukanlah khas pola pendidikan agama. Pendidikan secara
umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku pendidikan negara kita yang juga
mengidap masalah yang sama. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah
kuatnya dominasi pusat dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga yang
muncul uniform-sentralistik kurikulum, model hafalan dan menolong, materi ajar
yang banyak, serta kurang menekankan pada penbentukan karakter bangsa.
Mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup Al-Qur’an dan
Al-Hadist, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan
bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian,
keselerasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri,
sesama manusia, makhluk lainya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun
minannas).
Jadi
pelaksanaan pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan
pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan
mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan ditetapkan.[1]
B.
Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI
Sebagai bangsa
indonesia kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa,
yaitupendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesiadan berdasarkan
pada pancasila dan UUD 45. Dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional
tersebut dikelompokan kedalam berbagai jenis sesuai dengan sifat dan kekhususan
tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat
peserta didik, keluasaan dan kedalaman bahan pengajaran.
Dengan
demikian, sisitem pendidikan khususnya islam, secara macro merupakan usaha
pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang berdasarkan ajaran islam dan
pendekatan sistematik, sehingga dalam pelaksanaan opreasionalnya terdiri dari
berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pra dasar, menengah atau
perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalitas dalam kualitas ke ilmu
pengetahuan dan keteknologian yang makin optimal, yang mana tiap tingkat,
keimanan dan ketakwaan kepada allah akan meninggika derajat lebi tinggi bagi
orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
Hakikat
pembangunan nasional adalah membangun manusia indonesia indonesia seutuhnya dan
seluruh mansyarakat indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka
jelaslah tersirat dalam rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat
tinggi nilainya karena pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan
jasmaniayah, seimbang, selaras dan serasi antara dunia dan akhirat dan
sebagainya yang mampu menjadi pemeran aktif dalam pembangunan.[2]
Pendidikan
agama wajib dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur
penanggung jawab pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri
pancasilayang kita cintai ini bukan semata-mata panggilan misional yang
mengikat seluruh bangsa untuk menyukseskan, seperti halnya dengan komponen
dasar pendidikan lainya, misalnya PMP< pendidikan P-4, PSPB yang satu sama
lain harus saling mengembangkan dan berkaitan atau saling mengacu, meskipun
pada masing-masing lingkungan tersebut intensitas pengaruh dan efektifnya tidak
sama karena berbagai faktor dan fasilitas yang berbeda.
Dasar
pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak
langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah
secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :
1.
Dasar
ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama : Ketuhanan Yang
Maha Esa.
2.
Dasar
structural/konstitusional, yaitu UUD ’45 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2,
yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
3.
Dasar
operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang kemudian
dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983,
diperkuat oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan
pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah
formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[3]
C.
Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Pemahaman
tentang pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilihat dari dua sudut pandang,
yaitu Pendidikan Agama Islam sebagai aktivitas dan Pendidikan Agama Islam
sebagai fenomena. Dalam kaitan aktivitas adalah bahwa pendidikan agama itu
menjadi sebuah pekerjaan yang diorganisir sedemikian rupa sehingga menjadi
kegiatan yang memiliki tujuan, usaha mencapai tujuan, teknik atau metode
pendidikan, sarana-prasarana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
terselenggaranya usaha mencapai target yang ditetapkan menyangkut dengan
Pendidikan Agama Islam tersebut. Sedangkan sebagai fenomena ini maksudnya
bagaimana agar nilai-nilai pendidikan Islam itu menjadi sesuatu yang dibiasakan
dalam kehidupan sehingga membentuk sebuah tatanan dan iklim dalam kehidupan
sehari-hari.
Munculnya
berbagai pemikiran dan kebijakan tentang Pembinaan PendidikanAgama Islam secara
terpadu pada sekolah umum, pengembangan dan peningkatan kualitas Madrasah,
Pesantren, IAIN/STAIN, kegiatan Pesantren Kilat di sekolah umum, serta
pendidikan agama Islam di perguruan tinggi dan sebagainya,adalah beberapa
contoh manifestasi dari usaha-usaha ahli dan pemerhati pendidikn agama Islam
agar pelaksanaan pendidikan Islam tersebut berjalan dengan efektif sehingga
pencapaian hasil yang diharapkan dapat terwujud secara maksimal.
Dalam kaitan
itulah sehingga Kurikulum Pendidikan Agama Islam itu dikembangkan dan dibina
sehingga pelaksanaannya terorganisir sebagaimana mestinya. Termasuk dalam
pengoptimalan dan pensejajaran Pendidikan Agama Islam dengan mata pelajaran
lain di setiap sekolah, maka secara nasional Pendidikan Agama Islam ini menjadi
mata pelajaran wajib yang harus diberikan, sehingga kedudukannya sama dengan
Pancasila dan Bahasa Indonesia yakni mata pelajaran pembentukan kepribadian
bangsa.[4]
Hal ini diberikan
adalah untuk memberi bekal agar anak didik di setiap sekolah memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi kepribadian mereka
yakni yang akan menghantarkan mereka menjadi manusia yang berakhlak mulia yang
mampu menghargai dirinya, keluarganya, masyarakatnya, malah dapat menjalin
hubungan baik dengan semua pemeluk agama termasuk dengan penduduk yang
non-muslim.
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius, sikap religius telah dimiliki bangsa
Indonesia sejak zaman dahulu kala yaitu sebelum kemerdekaan. Bekas-bekas
peninggalan sejarah menunjukkan bukti nyata terhadap sikap beragama tersebut.
Ada beberapa fase tentang pelaksanaan pendidikan agama ini, yaitu :
a.
fase
1945-1965
Sesudah
Kemerdeaan Indonesia diproklamirkan, maka pada tanggal 18 Agustus 1945
ditetapkan Ketuhana Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari Pancasila. Sila ini
merupakan manifestasi dari sikap hidup religius tersebut. Salah satu pokok
pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah Negara
berdasarkan atas Ketuhana Yang Maha Esa, atas dasar itu pulalah didalam batang
tubuh Undang Undang Dasar 1945 diatur hal yang berkenaan dengan ketuhanan,
yakni pada pasal 29 ayat 1 dan 2.
b.
Fase
1966-1988
Setelah
pemberontakan G 30 S PKI tahun 1965 berhasil ditumpas, pemerintah dan
masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan agama, sebab disadari bahwa dengan
bermentalkan agama yang kuat bangsa Indonesia akan terhindar dari paham
komunis.
Melalui sidang
MPRS tanggal 5 uli 1966 dihasilkan TAP MPRSNo.XXVII/MPRS/1966 tentang agama,
pendidikan dan kebudayaan. Bab I pasal I dari TAP MPRS tersebut
berbunyi”Menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib
disekolah-sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai Univertsitas-Universitas
Negeri’’.[5]
Ketetapan MPRS
tahun 1966 selanjutnya di ikuti dengan peraturan bersama Menteri Agama,
Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober 1967, menetapkan bahwa kelas I dan
II SD diberikan matapelajaran agama sebanyak 2 jam perminggu, kelas III
sebanyak 3 jam perminggu, kelas IV keatas sebanyak 4 jam perminggu hal itu juga
berlaku pada SMP dan SMA.Untuk Universitas dan Perguruan tinggi lainnya, mata
kuliah agama diberikan 2 jam perminggu.
Pada akhir
tahun 1970, Menteri Agama berusaha mengubah kurikulum pengajaran agama dengan
tujuan agar semua kelas tertinggi SD dan SMP mendapat 6 jam pelajaran agama
perminggu.Tetapi usaha tersebut tidak berhasil, karena Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tidak menyetujuinya. Meskipun begitu pendidikan agama sebagai
salah satu bidang studi yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah-sekolah
negeri tetap dibina dan digalakkan dalam usaha mangembangkan kehidupan
beragama.
Kemudian pada
perkembangan selanjutnya, yakni lahirnya TAP MPR 1983, dalam menyusun tentang
GBHN, nampaknya pemerintahan Orde Baru memiliki tekad dan semangat dalam
mengembangkan kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia, sehingga menempatkan
pendidikan agama sebagai materi pelajaran yang benar-benar diperhitungkan dalam
proses pembelajaran disekolah-sekolah umum. Karena pendidikan agama dijadikan
sebagai salah satu pelajaran yang akan membentuk kepribadian anak didik.
c.
Fase
1989-2002
Pada tahun
1989, Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-Undang Nomor 2 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang bertujuan agar Indonesia memiliki landasan konstitusi
dalam pelaksanaan pendidikan termasuk dalam memperkuat kembali posisi mata
pelajaran agama disekolah umum. Hal ini dapat dipahami dari bunyi Pasal 39 Ayat
2, yakni:Isi Kurikulum setiap jenis dan jalur pendidikan wajib memuat
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan.[6]
Dari pernyataan
demikian mengandung arti bahwa pendidikan agama adalah dasar dan inti kurikulum
pendidikan Nasional yang tidak bisa dipisahkan dari bidang studi wajib lainnya.
Kemudian Bab V Pasal 9 Ayat 1 PP omor 27 tahun 1990 sebagai turunan UUSPN nomor
2 tahun1989 ini yang manyatakan bahwa pelaksanaan Pendidikan agama tidak hanya
diajarkan dari mulai kelas 1 SD, tetapi Pendidikan agama sudah wajib sejak
taman kanak-kanak.
Pemberlakuan
USPN nomor 2 tahun 1989 pada Pasal 39 Ayat 2 yang menegaskan bahwa: Pendidikan
agama harus merupakan usaha memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik, yang bersangkutan
dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan
kerukunan umat beragama dalam masyarakat untuk menciptakan persatuan Nasional.
Dengan adanya
perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan agama, sebagaimana tertera dalam
USPN yang dijiwai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka stasus pendidikan agama
tidak dibedakan lagi dari pendidikan pada umumnya, dengan demikian pendidikan
agama disekolah umum sudah kuat. Bahkan Undang Undang ini sebenarnya sudah
dapat menjadi landasan bahwa pendidikan agama harus menjadi dasar dan prinsip
filosofis pendidikan secara menyeluruh sehingga agama harus dijadikan prinsip,
ikatan dan iklim pendidikan.
d.
Fase
2003-sekarang.
Pada tanggal
8juli 2003, Preside Megawati Soekarno Putri menanda tangani pemberlakuan
Undang-Undang Republik Indonesia (Sisdiknas). Secara umum, pada satu sisi
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ini sarat akan nuansa nilai-nilai
agama. Kemudian pada sisi lain, secara eksplisit, Undang-Undang ini menegaskan
kedudukan kelembagaan pendidikan agama dan pelaksanaan pendidikan agama sebagai
mata pelajaran wajib untuk setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
Dalam kaitannya
dengan pendidikan agama sebagai mata pelajaran, BabV Pasal 12 Ayat 2 menegaskan
bahwa “Setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yag dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama.[7]
Kemudian pada
Pasal yang lain, yaitu pada Pasal 37 Ayat 1dan 2, mempertegas secara eksplisit
posisi mata pelajaran agama dimana dinyatakan bahwa kurikulum satuan pendidikan
dasar, menengah, dan perguruan tinggi wajib memuat pendidikan agama.
Pada tahun
2005, pemerintah mengeluarkan peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang
standar Nasional Pendidikan (SPN) yang mencakup standar tentang isi, proses,
kompensi lulusan, pendidikan dan tenaga pendidikan. Artinya pasal-pasal yang
mengatur seluruh standar tersebut, pendidikan agama, baik secara kelembagaan
maupun bidang studi, tidak dibedakan lagi dengan pendidikna umum. Dengan
demikian terlihat jelas bahwa posisi atau keberadaan pendidikan agama semakin
kuat dan di jamin dalam Perundang-undangan dalan Pendidikan Nasional Indonesia.
D.
Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI di Sekolah
Selama ini
pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung disekolah masih mengalami banyak
kelemahan. Mochtar Buchori menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan
disebabkan karena praktek pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif semata
dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek
afektif dan konatif-voletif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan
nilai-nilai ajaran agama. Akibat terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan
pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama atau dalam
praktek pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak
membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dri pendiikan agama adalah
pendidikan moral.[8]
Dalam
pelaksanaan progam pendidikan agama diberbagai sekolah umum, belum seperti yang
kita harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan
metode, sarana fisik dan non fisik. Disamping suasana lingkungan pendidikan
yang kurang menunjang suksesnya pendidikan mental spiritual dan moral. Padahal
fasilitas dasarnya telah disediakan oleh pemerintah melalui Tap-Tap MPR,
pengaturan perundangan lainya, serta berbagai proyek pembangunan sektor agama
dan pendidikan.
Beberapa faktor yang menghambat pendidikan agama :
1.
Faktor-faktor
eksternal
a.
Timbulnya
sikap orang tua dibeberapa lingkungan sekitar yang kurang menyadari tentang
pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan
pendidikan agama di sekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap
demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20
jam di luar rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk
mendidik anaknya 2 jam per minggu.
b.
Situasi
lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai raga
bentuknya, seperti judi, tontonan porno dan maksiat-maksiat lainnya. Situasi
yang demikian dapat melemahkan daya konsentrasi berfikir dan berakhlaq mulia,
serta mengurangi gaya belajar, bahkan mengurangi daya saing dalam meraih
kemajuan.
c.
Adanya
gagasan baru dari para ilmuan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai
problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara
latah mempraktekan makna yang keliru atats kata-kata yang terobosan menjadi
mengambil jalan pintas dalam mengejar cita-citanya tanpa melihat cara-cara yang
halal dan haram, seprti mencontek, membeli soal-soal ujian akhir, perolehan
nilai secara aspal, bahkan ada yang menghalalkan cara apapun seprti doktrin
komunisme.
d.
Timbulnya
sikap frustasi dikalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat
pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja.
e.
Serbuan
dampak kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negri semakin melenturkan perasan
religius dan meleberkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai
rasional teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan arah
dan pemukiman yang baru.
2.
Faktor-faktor
internal
a.
Guru
kurang kompeten utnuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru
yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tanpa menekuni
tugas sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi
sesuai tuntutan pendidikan.
b.
Pendekatan
metologi guru masih terpaku kepada orientasi tradisionali, sehingga tidak mampu
menarik minat murid pada pelajaran agama.
c.
Kurangnya
rasa solidaritas antra guru agama dengan guru - guru bidang studi umum,
sehingga timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan
pendidikan agama tersendat-sendat dan kurang terpadu.
d.
Kurangnya
waktu persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukan oleh usaha nonguru
untuk mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah
suasta.
e.
Hubungan
guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam
situasi informal di luar kelas.[9]
KESIMPULAN
Pendidikan
agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam,
dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam
hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan
persatuan bangsa.
Fakta historis
memperlihatkan bahwa pendidikan agama di sekolah umum, mulai masa pemerintahan
Belanda sampai sekarang, memiliki sejarah dan dinamika yang cukup panjang. Pada
masa kolonial Belanda, pendidikan agama belum mendapatkan tempat sebagai mata
pelajaran yang bersifat formal di sekolah umum. Kemudian pada masa penjajahan
Jepang sekali pun pelaksanaan pendidikan Islam di berikan kebebasan namun
secara umum pelaksanaan pendidikan dapat dikatakan terbengkalai, sebab
sekolah-sekolah lebih diarahkan pemerintahan untuk kepentingan persiapan perang
seperti gerak jalan, kerja bakti (Romusa) dan berbgai kepentingan lainnya.
Secara umum
tujuan Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatakan keimanan,
pemahaman, penghayatan, dan pengalaman, peserta didik tentang agama Islam,
sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Alloh Swt,
serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Majid Abdul,
Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT
REMAJA ROSDAKARYA, 2004,
Djamaludin
Drs., Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999,
Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, 2006, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam – Departemen Agama RI
Syafaruddin
dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006).
Muhaimin Prof.
Dr., M.A., Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah
Dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010,
[1] Abdul Majid,
Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004, hlm,
131
[2] Drs. H.
Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999,
hlm, 38
[3] Abdul Majid,
Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2004,
hlm,38
[4] Dapat dilihat
Keputusan Mendiknas No. 428 Tahun 2003
[5] Syafaruddin
dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006)., h. 58
[6] Lihat
Undang-undang No 2 Tahun 1989.
[7] Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003.
[8] Prof. Dr. H.
Muhaimin, M.A, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah,
Madrasah Dan Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2010, hlm, 23
[9] Drs. H.
Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999,
hlm, 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar