PUTUSNYA PERNIKAHAN (IHDAD DAN TALAK)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
FIQH II

DisusunOleh : Kelompok
Alfadilatu Ahmad 2014.1839
Dosen Pembimbing
:
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU
AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT
2016
M/1437
H
PENDAHULUAN
Pada
prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup dan kebahagian
yang kekal (abadi) bagi pasangan suami istri yang bersangkutan.
Keluarga
kekal yang bahagia itulah yang dituju. Banyak perintah tuhan dan rasul yang
bermaksud untuk ketentraman keluarga selama hidup tersebut.
Perceraian
adalah terlarang, banyak larangan tuhan dan rasul mengenai perceraian antara
suami istri. Tak ada sesuatu yang halal yang paling dimarahi oleh tuhan selain
dari talak.
Maka
dari itu saya sebagai pemakalah akan mencoba untuk memaparkan
permasalahan-permasalahan mengenai putusnya perkawinan, yaitu :
a.
Ihdad
b.
Talak
PEMBAHASAN
A.
Ihdad
1.
Pengertian Ihdad
‘Iddah
adalah dari kata عَدَّ ,artinya menghitung. Sedangkan maksudnya
dalam fiqih ialah, bahwa setelah bercerai dengan suaminya, maka seorang wanita
masih tetap harus menunggu beberapa hari dimana ia belum boleh kawin dengan
orang lain sebelem masa penantian itu habis.[1]
Waktu
tunggu atau iddah ialah tenggang waktu dimana janda bersangkutan tidak boleh
kawin, bahkan dilarang pula menerima pinangan/lamaran. Ketentuan waktu tunggu
ini dimaksudkan antara lain untuk menentukan nasab dari kandungan janda itu
bila ia hamil dan juga sebagai masa berkabung bila suami yang bersangkutan
meninggal dunia, begitu pula untuk menentukan masa ruju’ bagi suami, bila talak
itu berupa talak raj’i.
Seorang
janda karena kematian suaminya sedang ia tidak hamil, maka iddahnya ialah 4
bulan 10 hari atau 130 hari. Iddah ini lebih panjang dari pada iddah karena
talak atau cerai, dalam iddah kematian selain untuk menentukan apakah janda itu hamil atau tidak guna
penentuan nasab sianak juga ia aperlu ia berkabung kepada almarhum suaminya.
Bila
perkawinan putus karena talak, sedang talak itu adalah talak raj’i, yaitu talak
kesatu atau kedua, maka iddahnya ialah 3 kali suci atau 90 hari (pasal 39 ayat
1). Dalam hukum islam, talak raj’i itu mempunyai akibat-akibat hukum sebagai
berikut :
1)
Suami masih berkewajiban memberi nafkah, sandang dan
pangan kepada istrinya yang ditalak.
2)
Suami berhak meruju’ (kembali kepada) isteri selama masih
dalam iddah
3)
Bila salah seorang dari suami istri meninggal dunia dalam
masa iddah, maka pihak yang masih hidup berhak mewarisi dari yang meninggal.
Hal ini
disebabkan karena pada hakikatnya perkawinan itu belum bubar, melainkan hanya
berhenti sementara. Dan nasib perkawinan tersebut ditentukan dalam masa iddah,
apakah terjadi ruju’ atau tidak. Bila sampai akhir masa iddah tiada terjadi
ruju’, maka perkawinan itu menjadi bubar. Adapun iddah dari talak ketiga (bain
kubra), atau bain yang lain (bain sughra), maka suami tidak dapat meruju’,
begitu pula tak ada hak saling mewaris antara keduanya. Sebab pada hakikatnya
perkawinan itu sudah bubar. Dan iddah disini gunanya ialah untuk menentukan
nasab sianak bila janda itu hamil.
Baik
janda karena kematian suami, maupun karena cerai talak (raj’i atau bain) atau
cerai gugatan, bila ia dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai ia
melahirkan (pasal 39 ayat 1). Kehamilan ini mungkin sudah diketahui pada saat
terjadinya talak, cerai atau matinya suami, atau baru diketahui beberapa saat
kemudian sebelum habisnya waktu-waktu yang diterangkan dalam pasal 39 ayat 1
peraturan pemerintah (130 hari, 3 kali suci 90 hari). Semuanya itu iddahnya
ialah sampai melahirkan.[2]
2.
Macam-macam Iddah
a.
‘iddah bagi wanita yang masih mengalami haid adalah tiga
kali haid yang diseling-selingi dengan masa suci.
b.
‘iddah bagi wanita tua yang sudah tidak mengalami haid
lagi adalah tiga bulan
c.
‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya ialah 4
bulan 10 hari, kalau dia tidak hamil.
d.
Adapun bagi yang hamil, maka tunggulah sampai melahirkan.[3]
3.
Hal-hal yang wajib diperhatikan sehubungan
dengan ‘iddah
1)
Bagi wanita yang menunggu ‘iddah sehabis ditalak atau fasakh,
padahal dia sedang hamil.
Dalam hal ini ‘iddahnya ialah sampai dia melahirkan.
Allah ta’ala berfirman :
4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq
“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Q.S ath-thalaq ayat 4)
2)
Apabila wanita yang menunggu ‘iddah sehabis ditalak atau
fasakh itu tidak hamil,
Maka
‘iddahnya dua macam : kalau saban bulan ia masih menglami haid, maka ‘iddahnya
3 kali quru’ (haid). Sedang kalau sudah tidak haid lagi, karena sudah tua atau
umurnya masih terlalu muda, maka ‘iddahnya 3 bulan.
3)
Bagi wanita yang menunggu ‘iddah karena suaminya
meninggal dunia, sedang dia tidak hamil.
Maka ‘iddahnya 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman allah
ta’ala :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur (
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.”(Q.S Al-Baqarah ayat 234)
4)
Sedang untuk wanita yang menunggu ‘iddah setelah
ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil,
Maka
‘iddahnya memang diperselisihkan oleh para ulama. Segolongan para sahabat nabi
dan beberapa ulama fiqih terkemuka berpendapat, bahwa wanita seperti ini
hendaknya menunggu ‘iddah yang terpanjang diantara dua ketentuan. Apakah akan
menunggu sampai melahirkan kandungannya, ataukah sampai 4 bulan 10 hari. Mana
diantara keduanya yang terpanjang, itulah yang dipilih. Madzhab ini adalah
madzhab yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat nabi, antara lain abdullah bin
‘abbas ra.[4]
4.
Hal-hal yang dilarang dan yang dibolehkan
bagi orang yang berihdad
Para
fuqaha’ berpendapat bahwa wanita yang sedang berihdad dilarang memakai semua
perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya, seperti perhiasan
intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan. Dan
dilarang pula memakai pakaian yang dicelupkan dengan warna, kecuali warna
hitam. Karena imam malik tidak memakruhkan pakaian berwarna hitam bagi wanita
yang sedang berihdad.[5]
B.
Talak
1.
Pengertian Talak
Menurut
bahasa, talak berati menceraikan atau melepaskan. Sedangkan menurut syara, yang
dimaksud talak ialah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau
dimasa yang mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu
atau cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut.[6]
Dalam
undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dilaksanakan oleh
peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975 diatur 2 (dua) talak :
1)
Talak yang didaftarkan (pasal 28 dan 29 PMA No 3/75).
2)
Talak yang melalui gugatan ke pengadilan (pasal 30 dan
pasal 31 PMA No. 3/75).[7]
2.
Hukum talak
Pada prinsipnya asalnya, talak itu hukumnya
makruh berdasarkan sabda rasulullah saw.
ا بغض الحلل
3.
Rukun dan Syarat talak
Rukun talak ada empat, sebagai berikut :
1)
Suami
2)
Istri
3)
Sighat talak
4)
Qashdu
Untuk sahnya talak suami yang menjatuhkan
talak diisyaratkan :
1)
Berakal
2)
Baligh
3)
Atas kemauan sendiri.[8]
4.
Macam-macam Thalaq
a.
Talak ditinjau dari segi sighatnya
1)
Talak tegas
Talak yang tegas atau sharih ialah kata-kata talak yang ketika diucapkan
dapat difaham dengan jelas sebagai perceraian, seperti “kau, aku cerai”, atau
“kau dicerai”. Dalam kitab-kitab fiqih berbahasa arab, bunyinya : انت طلا لق
Atau ا نت مطلقة atau ucapan lain yang merupakan pecahan kata
dari
الطلا ق dan menurut asy-syafi’i, lafazh talak yang
tergolong sharih ada tiga, :
ا لسراح dan الفراق , الطلا ق (cerai, pisah, lepas),
yang semua itu tercantum dalam alqur’an alkarim.
2)
Talak sindiran
Talak sindiran atau kinayah ialah talak
dengan menggunakan kata-kata yang menurut aslinya tidak berarti menceraikan,
sedang berbagai sindiran bisa berarti demikian. Seperti kata-kata : “kamu lain”
kata-kata ini bisa berarti,”kamu bukan istriku lagi”. Tapi bisa juga,” kamu
berbeda dari biasanya.”
Contoh
lain,” kau haram untukku.” Ini bisa berarti “haram aku setubuhi”. Dan bisa
juga, “haram aku aniaya.”
b.
Talak ditinjau dari waktu terjadinya
1)
Talak munjaz
Talak munjaz atau perceraian kontan ialah
talak yang diucapkan tanpa syarat maupun penangguhan, seperti kata-kata,”saya
ceraikan kamu .” atau “kamu lepas”. Kata-kata ini menunjukan jatuhnya
perceraian seketika, tanpa ada penangguhan atau tergantung pada suatu syarat
tertentu.
Talak munjaz itu
dihukumi jatuh begitu keluar dari mulut, yaitu manakala syarat-syarat yang lain
telah terpenuhi.
2)
Talak mudhaf
Talak mudhaf atau perceraian bertangguh ialah
ucapan talak yang dikaitkan dengan waktu, bahwa apabila waktu yang dimaksud itu
tiba maka terjadilah perceraian itu. Seperti kalau ada seorang suami berkata
kepada istrinya, “kamu lepas besok, atau awal bulan depan, dst.”
3)
Talak mu’allaq
Talak mu’allaq atau perceraian bersyarat
ialah talak yang digantungkan dengan suatu peristiwa yang bakal terjadi di masa
yang akan datang. Contohnya bila seorang suami mengucapkan talak dibarengi
dengan kata syarat atau yang semakna dengannya, seperti jika, apabila, kapan
dan lain-lain.
c.
Talak ditinjau dari pengaruhnya
1)
Talak raj’i
Talak raj’i ialah talak dimana suami masih tetap berhak
mengembalikan istrinya kebawah perlindungannya selagi ‘iddahnya belum habis.
Dan itu bisa ia lakukan dengan semata keinginan untuk ruju’ dengannya. Allah
ta’ala berfirman dalam al-qur’an “
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xÎô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. (Q.S Al-Baqarah
ayat 229)
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4
wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa
yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) menghendaki ishlah. (Q.S Al-Baqarah ayat 228)
[142]
Quru' dapat diartikan suci atau haidh.
2)
Talak bain
a)
Talak bain sughra
Yaitu
talak yang kurang dari tiga kali, maksudnya, setelah seorang lelaki menjatuhkan
talaknya yang pertama satu kali kepada isterinya, kemudian sampai habisnya
‘iddah tidak juga ia merujuk istrinya, maka dengan habisnya ‘iddah itu, dengan
sendirinya dinamakanlah talak itu talak ba’in. Dan ini terjadi setelah
dijatuhkannya talak pertama kali, maka dinamakan bain sughra.
b)
Talak ba’in kubra
Yaitu
talak yang ketiga kalinya. Dengan jatuhnya talak yang ketiga ini maka
berpisahlah seorang wanita dari suaminya sama sekali. Karena talak yang pertama
dan kedua adalah merupakan percobaan dan ujian.[9]
KESIMPULAN
a.
Ihdad
‘Iddah adalah dari kata عَدَّ ,artinya menghitung. Sedangkan maksudnya
dalam fiqih ialah, bahwa setelah bercerai dengan suaminya, maka seorang wanita
masih tetap harus menunggu beberapa hari dimana ia belum boleh kawin dengan
orang lain sebelem masa penantian itu habis.
b. Talak
Menurut
bahasa, talak berati menceraikan atau melepaskan. Sedangkan menurut syara, yang
dimaksud talak ialah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau
dimasa yang mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu
atau cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut.
Rukun dan Syarat talak
Rukun talak ada empat, sebagai berikut :
5)
Suami
6)
Istri
7)
Sighat talak
8)
Qashdu
d.
Talak ditinjau dari segi sighatnya
3)
Talak tegas
4)
Talak sindiran
e.
Talak ditinjau dari waktu terjadinya
4)
Talak munjaz
5)
Talak mudhaf
6)
Talak mu’allaq
f.
Talak ditinjau dari pengaruhnya
b.
Talak raj’i
c.
Talak bain
c)
Talak bain sughra
d)
Talak ba’in kubra
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asro
sosroadmojo dan wasit aulawi. 1975. Hukum perkawinan di indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang
Ibrahim muhammad al
jamal.fiqih wanita, (semarang :asy-syifa’, 1986), hal 435
Abdul rahman
ghozali.fiqh munakahat, (jakarta :kencana, 2008), hal 304
Idris ramulyo. Hukum perkawinan islam, (jakarta :bumi aksara, 2004), hal 102
Abdul rahman
ghozali.fiqh munakahat, (jakarta :kencana, 2008), hal 201-204
[2] Asro
sosroadmojo,wasit aulawi. Hukum
perkawinan di indonesia, (Jakarta
:Bulan Bintang, 1975), hal 70-71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar