EMOSI DAN KOMITMEN BERAGAMA SERTA MOTIVASI DAN TINGKAH LAKU BERAGAMA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAH LAKU BERAGAMA MANUSIA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
PSIKOLOGI AGAMA

Disusun Oleh : Kelompok 10
Fikri Masdalendra 20131787
Alfadilatu Ahmad 20141839
Dosen Pembimbing
:
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU
AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT
2015 M/1437
H
Emosi dan komitmen beragama serta motivasi dan tingkah laku
beragama serta hubungannya dengan tingkah laku beragama manusia
A.
Emosi dan komitmen beragama
1. Pengertian Emosi
Menurut konsep
kecerdasan emosional, yang dikatakan emosi ini bukanlah emosi yang sering
dipakai dalam kehidupan sehari-hari karena emosi ini sangat berbeda dengan
pengertian emosi dalam psikologi. Emosi dalam pemakaian sehari-hari sering
mengacu kepada ketegangan yang terjadi pada individu akibat dari tingkat
kemarahan yang tinggi. Singkatnya, kata emosi lazim dipahami oleh masyarakat
sebagai ekspresi marah. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dimaksud dalam
kajian tentang kecerdasan emosional dalam psikologi.
Secara
etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa latin movere yang berarti
menggerakkan atau bergerak. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e’ untuk
memberi arti bergerak menjauh.[1]
Menurut Crow
dan Crow, emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang
berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dalam diri)
terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu
(Hartati, dkk, 2004: 90). Definisi yang lebih jelas mengartikan bahwa emosi
adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada
persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta terealisasi dalam bentuk ekspresi
tertentu. Misalnya, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan
penerimaan (acceptance) akan melahirkan cinta (love); emosi sedih
(sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) melahirkan
kekecewaan mendalam (disappointment); cinta (love) berkombinasi
dengan marah (anger) melahirkan kecemburuan (jealousy) (dalam
artian segala perbuatan dan perasaan adalah emosi).[2]
Di dunia Islam,
kajian atas emosi bukanlah barang baru. Al Qur’an juga hadits banyak sekali
menyinggung tentangnya. Di dalam al Qur’an, menurut Nasaruddin Umar, aktifitas
kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan qalb (kalbu). Oleh
karena itu, kata kunci utama EQ di dalam al Qur’an dapat ditelusuri melalui
kata kunci qalb (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah lain yang
mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (nafs) dan beberapa istilah
lainnya. Lebih lanjut, Nasarudin Umar mengelompokkan jenis-jenis dan sifat
kalbu (qalb) dalam al Qur’an ke dalam dua kelompok, yaitu kalbu yang
positif dan kalbu yang negatif, diantaranya:
a.
Kalbu
yang positif:
1.
Kalbu
yang damai atau hati selalu cendrung kepada kedamaian (qalb salim) (Q.S.
al Syuara’: 89)
wÎ) ô`tB tAr& ©!$# 5=ù=s)Î/ 5OÎ=y ÇÑÒÈ
Artinya: “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati
yang bersih”
2.
Kalbu yang
bertaubat (qalb munib) (Q.S. Qaaf: 33)
3.
Kalbu yang
tenang (qalb muthmainah) (Q.S. al Nahl: 6)
b.
Kalbu
yang negatif:
1.
Kalbu
yang sewenang-wenang (qalb mutakabbir) (Q.S. al Mu’min: 35)
úïÏ%©!$# tbqä9Ï»pgä þÎû ÏM»t#uä «!$# ÎötóÎ/ ?`»sÜù=ß öNßg9s?r& (
uã92 $¹Gø)tB yZÏã «!$# yZÏãur tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
4 Ï9ºxx. ßìt7ôÜt ª!$# 4n?tã Èe@à2 É=ù=s% 9Éi9s3tFãB 9$¬6y_ ÇÌÎÈ
Artinya: (yaitu)
orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada
mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi
orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang
sombong dan sewenang-wenang.
2.
Kalbu
yang sakit (qalb maridh) (Q.S. al Ahzab: 32)
3.
Kalbu
yang terkunci, tertutup (khatama Allah ‘ala qulubihim) (Q.S. al Baqarah:
7)
4.
Kalbu
yang terpecah-pecah (qulubuhum syatta) (Q.S. al Hasyr: 14)
Sedangkan
Agustian (2006: 112) membagi emosi ke dalam kategori emosi yang tercipta ketika
manusia menjauh atau keluar dari garis orbit (off line) dan emosi yang
masuk dalam garis orbit (in line). Yang masuk dalam kategori off line
adalah emosi yang keluar dari tuntutan hati nurani, sedangkan in line adalah
yang sesuai dengan hati nurani. Emosi-emosi tersebut antara lain:
a.
Emosi
yang keluar dari tuntutan hati nurani, seperti:
1.
Marah
2.
Kecewa.
3.
Sedih
4.
Menangis
(off line atau in line)
5.
Kesal
b.
Emosi
yang sesuai dengan tuntutan hati
1.
Bahagia
(in line)
2.
Merasa
damai (in line)
3.
Termotivasi
(in line)
4.
Merasa
aman (in line)[3]
Uraian tersebut
di atas jelas memperlihatkan bahwa qalb (hati) secara psikologis
memiliki daya-daya emosi yang menimbulkan daya rasa (al syu’ur) yang
positif atau yang negatif. Jika daya rasa positif diupayakan untuk selalu
diberdayakan, maka potensi ini sangat mungkin untuk dapat dijadikan sebagai
media pengembangan tingkah laku salih yang berbasis rasa cinta, senang, riang,
percaya (iman), tulus (ikhlas) dan rasa persaudaraan. Namun jika daya rasa
negatif yang dibiarkan, tanpa ada upaya pengendaliannya, maka perilaku yang
nampak dipermukaan cenderung selalu menolak terhadap kebenaran, sekalipun
datangnya dari Tuhan. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan keadaan psikologis
sudah didominasi oleh daya rasa kebencian, ketidaksenangan, kekufuran,
keingkaran dan kemunafikan, yang dalam bahasa al Ghazali disebut al Ghadlab
(Hadziq, 2005: 107).[4] Oleh
karena itu, daya-daya emosi tersebut harus dikelola dan diatur sedemikian rupa
agar lebih cerdas secara emosional.
2.
Pengertian
Komitmen beragama
Kata komitmen
dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perjanjian atau keterikatan untuk
melakukan sesuatu. Orang yang komit diartikan sebagai orang yang mewajibkan
diri untuk melakukan sesuatu.[5]
Sedangkan agama
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw,
mengandung tuntunan hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (Al Khaliq),
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, maupun hubungan manusia dengan manusia
lainnya. Aturan Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Al Khaliq tertuang
dalam hukum-hukum syariah mengenai aqidah dan ibadah. Aturan Islam yang
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri tertuang dalam hukum-hukum
syariah mengenai akhlak, pakaian, makanan, dan minuman.
Ketika seorang
muslim mengucapkan dua kalimat syahadat berarti dia telah berkomitmen untuk mengikat
dirinya dengan pandangan hidup Islam, bahwa tiada Dzat yang dia akui sebagai
satu-satunya Dzat yang layak disembah kecuali Allah Swt dan Muhammad SAW bahwa
tiadalah tugas hidup di dunia ini melainkan beribadah kepada-Nya (QS. Ad
Dzariyat 56). Dapat kita lihat beberapa contoh komitmen para sahabat.
Para sahabat
Rasulullah saw. di kota Makkah saat mereka menyatakan penerimaan dan kesaksian
mereka kepada Rasulullah saw. yang menawarkan aqidah tauhid dalam suasana
dominasi kemusyrikan dan kejahiliyahan, memiliki komitmen untuk hidup baru
sesuai dengan pengarahan Allah Yang Esa. Apapun resikonya.
Ibnu Mas’ud
r.a. adalah orang yang pertama kali membacakan Al Quran secara terbuka di
tempat berkumpulnya orang Quraisy di dekat Ka’bah. Tentu saja orang-orang
Quraisy langsung memukulinya sampai babak belur. Ketika kembali kepada para
sahabatnya, dia justru mengatakan: "Mulai sekarang tidak ada lagi yang
kutakutkan dari orang Quraisy, berikanlah lagi ayat-ayat Al Quran, pasti akan
kubacakan di hadapan mereka."
Setelah Islam
kuat secara politik maupun militer di Madinah, kaum muslim semakin komit dengan
ajaran Islam, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah
(bermasyarakat dan bernegara). Orang-orang Anshar yang pada saat Baiat Aqabah
ke-II menyatakan komitmen mereka (dalam bentuk baiat) kepada Rasulullah Saw,
untuk melindungi beliau Saw. sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka,
benar-benar memenuhi komitmen mereka. Mereka selalu berjuang dan berjihad
bersama Rasulullah Saw, tanpa pamrih. Dengan komitmen para sahabat kepada
perjuangan Islam, Allah SWT menolong Rasulullah Saw, dan kaum muslimin dalam
memenangkan berbagai peperangan melawan kaum Quraisy, kaum Yahudi, dan
musuh-musuh lainnya. Sehingga Allah SWT mengokohkan wilayah kekuasaan
negara Islam itu dari negera kota Madinah.
Dalam komitmen beragama
khususnya agama Islam,kita harus memperbaharui
komitmen beragama agar rasa cinta tehadap agama semakin tinggi, dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pertama, kita bersihkan dan
murnikan kembali kebenaran keimanan kita kepada Islam dengan selalu mengkaji
islam secara kaffa. Kedua, kita perlu meneladani komitmen beragama para sahabat yang
merupakan contoh generasi yang memiliki komitmen Islam yang sangat tinggi. Ketiga,
selanjutnya kita mulai mewujudkan
langkah menumbuhkan komitmen itu satu persatu dalam diri kita dengan
melaksanakan, mencatat, dan mengontrol komitmen kita itu satu-persatu dalam
perkara-perkara yang bisa kita lakukan terlebih dulu sesuai dengan kemampuan
kita.[6]
Misalnya, kita mulai dengan mendisiplinkan sholat berjamaah, dan aktifitas
ibadah lainnya.
Dari uraian
diatas dapat dipahami bahwa komitmen beragama, ialah bagaimana seseorang
merealisasikan keyakinan dan keimanannya dengan baik dan benar agar tertanam
dalam hati nya rasa cinta terhadap agama, sehingga apapun yang mempengaruhinya
nanti tidak akan merusak kepada kemitmennya dalam beragama.
B.
Motivasi Dan Tingkah Laku Beragama Serta Hubungannya Dengan Tingkah
Laku Beragama Manusia.
Handoko
(1992), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga yang terdapat dalam diri manusia yang
menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasi tingkah laku. Lewin (dalam Petri,
1981) mengungkapkan bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan fungsi dari
faktor personal dan faktor lingkungan dalam pengertian bahwa perilaku itu
timbul karena adanya dorongan atau motivasi baik itu melalui faktor internal
(dalam diri sendiri) dan kekuatan faktor eksternal (luar diri individu).
Woodhworth
(dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi
atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai
dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai.
Dalam
kamus besar bahasa indonesia disebutkan, bahwa tingkah laku sama artinya dengan
perangai, kelakuan atau perbuatan[7],
menurut J.P Chaplin bahwa tingkah laku merupakan suatu respon yang mungkin
berupa reaksi atau tanggapan atas sesuatu. Jadi tingkah laku keagamaan adalah
segala aktifitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang
diyakininya, yang tingkah laku keagamaan ini didasari oleh rasa dan jiwa dengan
penuh kesadaran.[8] Tingkah laku keagamaan
pada umumnya didorong oleh adanya suatu sikap keagamaan yang merupakan keadaan
yang ada pada diri seseorang, dengan sikap itulah akhirnya lahir tingkah laku
keagamaan sesuai dengan kadar ketaatan seseorang terhadap agama yang
diyakininya.
Jadi,
sangat jelas sekali bahwa motivasi sangat berperan dalam tingkah laku
keagamaan, apabila motivasi individu manusia semakin baik maka akan menambah
keyakinan terhadap agama yang dianutnya, motivasi bisa diperoleh individu
melalui dirinya sendiri dan dari motivasi yang diberikan orang lain
terhadapnya, hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak referensi-referensi
agama, dan rajin untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.
[1] Stein, Steven
J. & Book, Howard E., 2004, Ledakan EQ; 15 Prinsip Dasar Kecerdasan
Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi
Murtanto, Cet. V, (Bandung: Kaifa), h.34
[2]
Hartati, Netty, dkk, 2004, Islam dan Psikologi, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada),h.81-85
[3]Agustian,
Ari Ginanjar, 2006, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Cet. X,
(Jakarta: Arga),h.45-46
[4]
Abdullah Hadziq, 2005, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik,
(Semarang: Rasail),h.34-35
[5] Umi Chulsum, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2006, (Surabaya: Koshiko Press).,h.387
[6]
Sadili, Muhtar, “Kecerdasan Paripurna Anak Didik” dalam http://groups.google.com.
Akses 11-nov-2015
[7] Umi Chulsum, Op-Cit, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.h.668
Tidak ada komentar:
Posting Komentar