Jumat, 08 Desember 2017

PSIKOLOGI AGAMA

EMOSI DAN KOMITMEN BERAGAMA SERTA MOTIVASI DAN TINGKAH LAKU BERAGAMA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAH LAKU BERAGAMA MANUSIA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
PSIKOLOGI AGAMA
                                                                                                             
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQoMTmwM3wxUqmL1KM9qstm9xiA1CaukEC5ivglRbmNJtCHdvpD

Disusun Oleh : Kelompok 10
Fikri Masdalendra    20131787
                                                Alfadilatu Ahmad     20141839

Dosen Pembimbing :
Muhammad Isnando Tamrin, S.SI, S.Pd.I, MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT

2015 M/1437 H

Emosi dan komitmen beragama serta motivasi dan tingkah laku beragama serta hubungannya dengan tingkah laku beragama manusia
A.    Emosi dan komitmen beragama
1.      Pengertian Emosi
Menurut konsep kecerdasan emosional, yang dikatakan emosi ini bukanlah emosi yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari karena emosi ini sangat berbeda dengan pengertian emosi dalam psikologi. Emosi dalam pemakaian sehari-hari sering mengacu kepada ketegangan yang terjadi pada individu akibat dari tingkat kemarahan yang tinggi. Singkatnya, kata emosi lazim dipahami oleh masyarakat sebagai ekspresi marah. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dimaksud dalam kajian tentang kecerdasan emosional dalam psikologi.
Secara etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa latin movere yang berarti menggerakkan atau bergerak. Kemudian ditambah dengan awalan ‘e’ untuk memberi arti bergerak menjauh.[1]
Menurut Crow dan Crow, emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment  (penyesuaian dalam diri) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu (Hartati, dkk, 2004: 90). Definisi yang lebih jelas mengartikan bahwa emosi adalah suatu gejala psiko-fisiologis yang menimbulkan efek pada persepsi, sikap, dan tingkah laku, serta terealisasi dalam bentuk ekspresi tertentu. Misalnya, emosi senang (joy) yang berkombinasi dengan penerimaan (acceptance) akan melahirkan cinta (love); emosi sedih (sadness) yang berkombinasi dengan kejutan (surprise) melahirkan kekecewaan mendalam (disappointment); cinta (love) berkombinasi dengan marah (anger) melahirkan kecemburuan (jealousy) (dalam artian segala perbuatan dan perasaan adalah emosi).[2]
Di dunia Islam, kajian atas emosi bukanlah barang baru. Al Qur’an juga hadits banyak sekali menyinggung tentangnya. Di dalam al Qur’an, menurut Nasaruddin Umar, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan qalb (kalbu). Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di dalam al Qur’an dapat ditelusuri melalui kata kunci qalb (kalbu) dan tentu saja dengan istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (nafs) dan beberapa istilah lainnya. Lebih lanjut, Nasarudin Umar mengelompokkan jenis-jenis dan sifat kalbu (qalb) dalam al Qur’an ke dalam dua kelompok, yaitu kalbu yang positif dan kalbu yang negatif, diantaranya:
a.       Kalbu yang positif:
1.    Kalbu yang damai atau hati selalu cendrung kepada kedamaian (qalb salim) (Q.S. al Syuara’: 89)
žwÎ) ô`tB tAr& ©!$# 5=ù=s)Î/ 5OŠÎ=y ÇÑÒÈ  
Artinya: “Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih
2.    Kalbu yang bertaubat (qalb munib) (Q.S. Qaaf: 33)
3.    Kalbu yang tenang (qalb muthmainah) (Q.S. al Nahl: 6)

b.      Kalbu yang negatif:
1.      Kalbu yang sewenang-wenang (qalb mutakabbir) (Q.S. al Mu’min: 35)
šúïÏ%©!$# tbqä9Ï»pgä þÎû ÏM»tƒ#uä «!$# ÎŽötóÎ/ ?`»sÜù=ß öNßg9s?r& (
uŽã9Ÿ2 $¹Gø)tB yZÏã «!$# yZÏãur tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
 4 šÏ9ºxx. ßìt7ôÜtƒ ª!$# 4n?tã Èe@à2 É=ù=s% 9ŽÉi9s3tFãB 9$¬6y_ ÇÌÎÈ  

Artinya: (yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.
2.      Kalbu yang sakit (qalb maridh) (Q.S. al Ahzab: 32)
3.      Kalbu yang terkunci, tertutup (khatama Allah ‘ala qulubihim) (Q.S. al Baqarah: 7)
4.      Kalbu yang terpecah-pecah (qulubuhum syatta) (Q.S. al Hasyr: 14)
Sedangkan Agustian (2006: 112) membagi emosi ke dalam kategori emosi yang tercipta ketika manusia menjauh atau keluar dari garis orbit (off line) dan emosi yang masuk dalam garis orbit (in line). Yang masuk dalam kategori off line adalah emosi yang keluar dari tuntutan hati nurani, sedangkan in line adalah yang sesuai dengan hati nurani. Emosi-emosi tersebut antara lain:
a.       Emosi yang keluar dari tuntutan hati nurani, seperti:
1.      Marah
2.      Kecewa.     
3.      Sedih
4.      Menangis (off line atau in line)
5.      Kesal
b.      Emosi yang sesuai dengan tuntutan hati
1.      Bahagia (in line)
2.      Merasa damai (in line)
3.      Termotivasi (in line)
4.      Merasa aman (in line)[3]
Uraian tersebut di atas jelas memperlihatkan bahwa qalb (hati) secara psikologis memiliki daya-daya emosi yang menimbulkan daya rasa (al syu’ur) yang positif atau yang negatif. Jika daya rasa positif diupayakan untuk selalu diberdayakan, maka potensi ini sangat mungkin untuk dapat dijadikan sebagai media pengembangan tingkah laku salih yang berbasis rasa cinta, senang, riang, percaya (iman), tulus (ikhlas) dan rasa persaudaraan. Namun jika daya rasa negatif yang dibiarkan, tanpa ada upaya pengendaliannya, maka perilaku yang nampak dipermukaan cenderung selalu menolak terhadap kebenaran, sekalipun datangnya dari Tuhan. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan keadaan psikologis sudah didominasi oleh daya rasa kebencian, ketidaksenangan, kekufuran, keingkaran dan kemunafikan, yang dalam bahasa al Ghazali disebut al Ghadlab (Hadziq, 2005: 107).[4] Oleh karena itu, daya-daya emosi tersebut harus dikelola dan diatur sedemikian rupa agar lebih cerdas secara emosional.
2.      Pengertian Komitmen beragama
Kata komitmen dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perjanjian atau keterikatan untuk melakukan sesuatu. Orang yang komit diartikan sebagai orang yang mewajibkan diri untuk melakukan sesuatu.[5]
Sedangkan agama Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, mengandung tuntunan hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (Al Khaliq), hubungan manusia dengan dirinya sendiri, maupun hubungan manusia dengan manusia lainnya. Aturan Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Al Khaliq tertuang dalam hukum-hukum syariah mengenai aqidah dan ibadah. Aturan Islam yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri tertuang dalam hukum-hukum syariah mengenai akhlak, pakaian, makanan, dan minuman.
Ketika seorang muslim mengucapkan dua kalimat syahadat berarti dia telah berkomitmen untuk mengikat dirinya dengan pandangan hidup Islam, bahwa tiada Dzat yang dia akui sebagai satu-satunya Dzat yang layak disembah kecuali Allah Swt dan Muhammad SAW bahwa tiadalah tugas hidup di dunia ini melainkan beribadah kepada-Nya (QS. Ad Dzariyat 56). Dapat kita lihat beberapa contoh komitmen para sahabat.
Para sahabat Rasulullah saw. di kota Makkah saat mereka menyatakan penerimaan dan kesaksian mereka kepada Rasulullah saw. yang menawarkan aqidah tauhid dalam suasana dominasi kemusyrikan dan kejahiliyahan, memiliki komitmen untuk hidup baru sesuai dengan pengarahan Allah Yang Esa. Apapun resikonya. 
Ibnu Mas’ud r.a. adalah orang yang pertama kali membacakan Al Quran secara terbuka di tempat berkumpulnya orang Quraisy di dekat Ka’bah. Tentu saja orang-orang Quraisy langsung memukulinya sampai babak belur. Ketika kembali kepada para sahabatnya, dia justru mengatakan: "Mulai sekarang tidak ada lagi yang kutakutkan dari orang Quraisy, berikanlah lagi ayat-ayat Al Quran, pasti akan kubacakan di hadapan mereka."
Setelah Islam kuat secara politik maupun militer di Madinah, kaum muslim semakin komit dengan ajaran Islam, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah (bermasyarakat dan bernegara). Orang-orang Anshar yang pada saat Baiat Aqabah ke-II menyatakan komitmen mereka (dalam bentuk baiat) kepada Rasulullah Saw, untuk melindungi beliau Saw. sebagaimana mereka melindungi keluarga mereka, benar-benar memenuhi komitmen mereka. Mereka selalu berjuang dan berjihad bersama Rasulullah Saw, tanpa pamrih. Dengan komitmen para sahabat kepada perjuangan Islam, Allah SWT menolong Rasulullah Saw, dan kaum muslimin dalam memenangkan berbagai peperangan melawan kaum Quraisy, kaum Yahudi, dan musuh-musuh lainnya.  Sehingga Allah SWT mengokohkan wilayah kekuasaan negara Islam itu dari negera kota Madinah.
Dalam komitmen beragama khususnya agama Islam,kita harus memperbaharui  komitmen beragama agar rasa cinta tehadap agama semakin tinggi, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. Pertama, kita bersihkan dan murnikan kembali kebenaran keimanan kita kepada Islam dengan selalu mengkaji islam secara kaffa. Kedua, kita perlu meneladani komitmen beragama para sahabat yang merupakan contoh generasi yang memiliki komitmen Islam yang sangat tinggi. Ketiga, selanjutnya kita mulai mewujudkan langkah menumbuhkan komitmen itu satu persatu dalam diri kita dengan melaksanakan, mencatat, dan mengontrol komitmen kita itu satu-persatu dalam perkara-perkara yang bisa kita lakukan terlebih dulu sesuai dengan kemampuan kita.[6] Misalnya, kita mulai dengan mendisiplinkan sholat berjamaah, dan aktifitas ibadah lainnya.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa komitmen beragama, ialah bagaimana seseorang merealisasikan keyakinan dan keimanannya dengan baik dan benar agar tertanam dalam hati nya rasa cinta terhadap agama, sehingga apapun yang mempengaruhinya nanti tidak akan merusak kepada kemitmennya dalam beragama.


B.     Motivasi Dan Tingkah Laku Beragama Serta Hubungannya Dengan Tingkah Laku Beragama Manusia.
Handoko (1992), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasi tingkah laku. Lewin (dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku atau tingkah laku merupakan fungsi dari faktor personal dan faktor lingkungan dalam pengertian bahwa perilaku itu timbul karena adanya dorongan atau motivasi baik itu melalui faktor internal (dalam diri sendiri) dan kekuatan faktor eksternal (luar diri individu).
Woodhworth (dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai.
Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan, bahwa tingkah laku sama artinya dengan perangai, kelakuan atau perbuatan[7], menurut J.P Chaplin bahwa tingkah laku merupakan suatu respon yang mungkin berupa reaksi atau tanggapan atas sesuatu. Jadi tingkah laku keagamaan adalah segala aktifitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya, yang tingkah laku keagamaan ini didasari oleh rasa dan jiwa dengan penuh kesadaran.[8] Tingkah laku keagamaan pada umumnya didorong oleh adanya suatu sikap keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang, dengan sikap itulah akhirnya lahir tingkah laku keagamaan sesuai dengan kadar ketaatan seseorang terhadap agama yang diyakininya.
Jadi, sangat jelas sekali bahwa motivasi sangat berperan dalam tingkah laku keagamaan, apabila motivasi individu manusia semakin baik maka akan menambah keyakinan terhadap agama yang dianutnya, motivasi bisa diperoleh individu melalui dirinya sendiri dan dari motivasi yang diberikan orang lain terhadapnya, hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak referensi-referensi agama, dan rajin untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.


[1] Stein, Steven J. & Book, Howard E., 2004, Ledakan EQ; 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses, terj. Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, Cet. V, (Bandung: Kaifa), h.34
[2] Hartati, Netty, dkk, 2004, Islam dan Psikologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada),h.81-85
[3]Agustian, Ari Ginanjar, 2006, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Cet. X, (Jakarta: Arga),h.45-46
[4] Abdullah Hadziq, 2005, Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Rasail),h.34-35
[5] Umi Chulsum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2006, (Surabaya: Koshiko Press).,h.387
[6] Sadili, Muhtar, “Kecerdasan Paripurna Anak Didik” dalam http://groups.google.com. Akses 11-nov-2015
[7] Umi Chulsum, Op-Cit,  Kamus Besar Bahasa Indonesia,.h.668

Tidak ada komentar:

Posting Komentar