Rabu, 13 Desember 2017

MATERI PAI SMA/MA

PEMERINTAHAN (SIYASAH)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
MATERI PAI SMA/MA
                                                                                                             


Disusun Oleh : Kelompok
Alfadilatu Ahmad     2014.1839
                                                Samiin                        2014.1872

Dosen Pembimbing :
Martono,  MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT

2017 M/1438 H

PENDAHULUAN
Pada era zaman modern ini banyak yang membicarakan tentang isu-isu politik, bukan hanya politik di Negara tapi juga politik dalam agama terutama agama Islam. Diskursus mengenai politik di Indonesia sudah lama berlangsung dan masih terus berkembang sampai saat ini. Proses tersebut seolah belum menghasilkan bentuk yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa kita. Hal itu menunjukkan bahwa pembangunan politik masih terus mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan karena persoalan politik di satu pihak masih terus berlanjut sampai saat ini. Dengan kata lain, bangsa Indonesia masih harus terus menerus untuk mencari format politik yang paling cocok dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Politik juga terjadi dalam islam tentang bagaimana berpolitik dalam agama.
Di Indonesia juga terjadi hal-hal semacam ini yang berkaitan dengan politik bahkan banyak dari kalangan pemuka agama juga terjun ke ranah politik. Tujuan mereka agar mengetahui bagaimana keadaan politik di Negara ini.
Politik yang di terapkan di Negara Indonesia ini adalah tentang demokrasi, yaitu pemimpin yang di pilih dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. Meskipun itu sudah di terapkan di Negara ini akan tetapi imbas dari apa yang mereka dapat tidak kembali ke rakyat.
Dalam makalah ini akan di bahas tentang politik dalam islam dan system Demokrasi yang lebih berperan di Negara ini.

PEMBAHASAN
SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (SIYASAH)

A.  OTOKRASI
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah otokrasi berasal dari bahasa yunani. Istilah otokratis berasal dari dua kata yaitu: autos dan kratos. Autos berarti sendiri atau diri pribadi, kratos adalah kekuasaan atau kekuatan. Jadi otokrasi berarti berkuasa sendiri secara mutlak (centre of authority). Kepemimpinan otokratis merupakan kepemimpinan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dengan prilaku otoriter.. Bila kita perhatikan, dapat dikatakan bahwa pada saat ini sudah tidak ada lagi negara yang mempraktekkan sistem otokrasi secara murni. Bentuk penyeleggaraan pemerintahan sekarang ini merupakan bentuk Otokrasi modern, yang masih berlangsung secara terselubung dalam pemerintahan dengan menggunakan sistem satu partai tunggal.[1]
Pada permulaan abad 18, mesin digunakan sebagai pengganti manusia di benua Eropa. Dengan pengganti tenaga ini muncullah pengangguran dalam jumlah yang besar. Banyaknya pengangguran ini mengakibatkan jumlah tenagar kerja yang tersedia semakin besar sementara kebutuhan atas tenaga manusia sangat rendah. Yang terjadi kemudian adalah tekanan terhadap upah tenaga kerja sampai tingkat yang paling rendah oleh pemilik perusahaan. Walaupun upah yang diterima sangat rendah, orang masih bersedia menerimanya sebagai suatu alternative yang terbaik dari pada menganggur dan mati kelaparan. Oleh karena itu, di satu pihak pemerasan yang terjadi membuat orang kaya semakin kaya dan sebaliknya yang miskin menjadi semakin miskin. Hal ini membuat kemiskinan semakin merajalela dalam masyarakat.


Keadaan yang sangat buruk ini tentu tidak tidak berlangsung langgeng karena muncul perlawanan dan gerakan dari bawah, yaitu munculnya organisasi-organisasi buruh yang berasakan sosiaisme untuk memperjuangkan nasib para buruh.
Perlawanan buruh yang paling gigih terjadi di Rusia, dimana gerakan- gerakan sosialisme di Rusia membuat Kaisar Tsaar menjadi sasaran. Pada waktu itu terjadi penolakan- penolakan, munculnya pemerintah pemogokan, dan pelemparan bom yang terjadi pada tanggal 22 januari 1905- yang dikenal dengan minggu berdarah. Lebih dari 3.000 orang yang terbunuh dan luka-luka pada waktu itu. Tentara Kaisar berhasil menggagalkan revolusi ini. Kemudian pada tahun1917 revolusi meletus lagi di Rusia, dan tetapmengalami kegagalan. Barulah pada kesempatan berikutnya pada bulan Oktober tahun tersebut, Kaisar bersama keluarganya dibuang ke Siberia, dan pada tahun 1918 mereka dibunuh. Dengan berhasinya revolusi itu, maka nkekuasaan diambil alih oleh partai buruh dan tani yakni kaum Bolsjewik atau kaum komunis di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky.
Kewenangan perlawanan buruh di Rusia berhasil menjauhkan Dinasti Tsaar dan menggantinya dengan kekuasaan komunisme. Saat itu juga mulai muncul pemeruntah totaliter, demokrasi ala komunisme, atau oleh para ahli politik dan juga ahli tata Negara menamainya pratek Autokrasi.[2]
B.  DEMOKRASI
Selain sistem pemerintahan khilafah dan imamah, ada sistem pemerintahan lain yang dipraktikkan oleh umat islam dalam konteks negara-negara (nation state). Yaitu sistem pemerintahan demokrasi yang sekarang ini banyak dipraktekkan sejumlah negara-negara muslim.[3]
Demokrasi secara etimologi berasal dari kata demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demos-cratein atau demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat.[4]
Dalam demokrasi klasik, seluruh warga negara hadir dan secara kolektif membuat perundang-undangan, sebagaimana dipraktekkan paa negara Yunani kuno (Athena).
Paling tidak ada tiga model demokrasi yaitu, demokrasi formal, permukaan dan substantif. Demokrasi formal ditandai dengan pemilihan umum yang teratur, bebas, adil dan kompetitif.biasanya ditandai dengan tidak digunakannya paksaan serta berlebihan oleh negara terhadap masyarakat, secara teoritis lewat pertanggungjawaban pemerintah terhadap yang diperintah (warga negara) melalui kotak suara, dan diletakkannya rule of law. Ada kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk menjamin kompetisi dalam pemilihan umum.
Demokrasi “permukaan” merupakan demokrasi yang umum dipraktekkan di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Dahulu, demokrasi ini lazim terdapat di Amerika Latin. Demokrasi permukaan juga umum di Timur Tengah. Misalnya, Presiden Saddam Hussein (Irak), Hafez al-Assad (Syiria), dan Hosni Mubarak (Mesir) dimana rezim penguasa tidak memiliki keinginan demokrasi yang sebenarnya.
Sedangkan demokrasi substantif memperluas ide demokrasi di luar mekanisme formal, ia mengintensifkan konsep dengan memasukkan penekanan pada kebebasan dan diwakilinya kepentingan melalui forum publik yang dipilih dan dengan partisipasi kelompok. Ia merupakan pendalaman demokrasi dimana semua warga negara mempunyai akses yang mudah pada proses pemerintahan dan suara di dalam pengambilan keputusan secara kolektif. Terdapat saluran yang efekif atas pertanggung jawaban para pejabat negara. Demokrasi substantif menaruh perhatian pada berkembangnya kesetaraan dan keadilan, kebebasab sipil dan hak asasi manusia atau partisipasi murni dalam pemerintahan oleh mayoritas warga negara.
Di zaman sekarang, beberapa negara yang mayoritas penduduknya Muslim menganut sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahan. Namun demokrasi, pengaruh Islam dalam pemerintahan masih begitu nampak dengan banyaknya perundang-undangan yang berbasis pada syariat. Demokrasi tidak dijalankan secara sekuler seperti dinegara-negara Barat, melainkan demokrasi yang mendapat pengaruh islam.
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun’im A. Sirry  memang masih menjadi perdebatan yang belum terselesaikan. Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh Jhon L. Esposito dan James P. Piscatory secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran.[5]
Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Demokrasi sebagai sistem barat tidak tepat untuk dijadikan acuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama kaffah yang tidak hanya mengatur aspek teologi (aqidah) dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia. Ini diungkapkan oleh elit kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pada masa awal revolusi Iran, Syekh FadhAllah Nuri, Sayyid Qutb, Thabathabi, Al-Sya’rawi dan Ali Benhadj
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa Islam dan Demokrasi merupakan konsep yang sejalan setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh dari kelompok ini adalah al-Maududi, Abdul Fattah Morou, dan Taufiq Asy-Syawi.
Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem demokrasi . Pandangan ini yang paling dominan yang ada di Indonesia, karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan Negara-negara Islam lainnya. Diantara tokoh-tokohnya yaitu,  Fahmi Huwaidi, al-Aqqad, M Husain Haekal, Robert N. Bellah. Di Indonesia diwakili oleh Nurcholis Majid (Cak Nur), Amien Rais, Munawir Syadzali, A. Syafi’i Ma’arif dan Abdurrahman Zahid.
C.  MONARKI
Monarki berasal dari bahasa yunani monos yang berarti satu, dan archein yang berarti pemerintah. Monarki merupakan jenis kepemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Sistem keperintahan monarki juga disebut sebagai system keperintahan kerajaan, sistem ini merupakan sistem keperintahan tertua di dunia.
Monarki  adalah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana yang berhak menggantikan sang raja adalah keturunannya. Rakyat tidak memilki hak untuk menggatikan kekuasaanya. Titah raja harus diikiuti oleh rakyatnya. Sehingga ada ketundukan penuh dari rakyat yang diperintah.
Kalau di zaman klasik, pemerintahan monarki dalam sejarah islam berbentuk khilafah yang dicirikan dari wilayah kekuasaannya yang luas karena diikat oleh islam. Maka monarki di zaman sekarang ini menggunakan bentuk natio-state (negara bangsa). Yakni monarki dalam bentuk kebangsaan yang mana kekuasaannya tidak lagi seluas di zaman klasi. Biasanya dalam satu suku bangsa. Contoh yang konkret adalah kerajaan Arab Saudi yang masih menggunakan sistem monarki murni dengan al-Qur’an sebagai undang-undang dasar negara dan syariat sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh mahkamah-mahkamah syariat. Kepala negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saud.[6]


KESIMPULAN
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah otokrasi berasal dari bahasa yunani. Istilah otokratis berasal dari dua kata yaitu: autos dan kratos. Autos berarti sendiri atau diri pribadi, kratos adalah kekuasaan atau kekuatan. Jadi otokrasi berarti berkuasa sendiri secara mutlak.
Demokrasi secara etimologi berasal dari kata demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demos-cratein atau demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat.
Monarki  adalah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan, dimana yang berhak menggantikan sang raja adalah keturunannya. Rakyat tidak memilki hak untuk menggatikan kekuasaanya. Titah raja harus diikiuti oleh rakyatnya. Sehingga ada ketundukan penuh dari rakyat yang diperintah.

 DAFTAR KEPUSTAKAAN

Aep Saepuloh dan Tarsono, (2012),  Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam, Bandung : Batik Press.
Inu Kencan Syafi’ie, (2004), Ilmu Pemerintahan dan Al-Aqur;an, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Muchtar Packpaham, (2010), Ilmu Negara Dan Politik, Jakarta: PT. Intitama Sejahtera.
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, (2008), Fiqh Siyasah dokrin dan pemikiran politik islam, Jakarta: PT Glora Aksara Pratama.


[1] Muchtar Packpaham, (2010), Ilmu Negara Dan Politik, Jakarta: PT. Intitama Sejahtera, h. 183
[2] Ibid., h. 184
[3]Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, (2008), Fiqh Siyasah dokrin dan pemikiran politik islam, Jakarta: PT Glora Aksara Pratama, h. 215
[4]Inu Kencan Syafi’ie, (2004), Ilmu Pemerintahan dan Al-Aqur;an, Jakarta: PT Bumi Aksara, h. 108
[5]Aep Saepuloh dan Tarsono, (2012),  Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam, Bandung : Batik Press, h.129
[6]Ibid., h.219 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar