PROSES TRANSFORMASI HADIS (TAHAMMUL AL HADITS WA
ADA’UHU)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata
kuliah
ULUM AL HADITS 1

Disusun Oleh : Kelompok 11
Alfadilatu ahmad : 2014.1839
Sahardi :
2014.1846
Ahmad
bahri : 2014.1834
Dosen Pembimbing :
Linda Suanti, MA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU
AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT
2015 M/1436 H
PENDAHULUAN
Penghimpunan dan
periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihipun dan diriwayatkan
memelui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya. Berdasarkan
ka’idah-ka’idah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali
bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan
oleh ulama, dan mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku ushulul
hadits.
Ulama tidak meninggalkan
sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits rasulullah saw. Kecuali mereka
jelaskan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengatakan : “ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai
terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama”.
Untuk memudahkan
pembahasan, pemakalah merasa perlu menjelaskan tentang tahammul dan ada’ hadits,
yaitu :
a.
Syarat
tahammul dan syarat ada’
b.
Cara-cara
penerimaan hadis
c.
Shighat
ada’
PEMBAHASAN
Dalam konteks ini, transformasi hadis diartikan
periwayatan hadits. Namun istilah ini digunakan, dengan alas an bahwa
didalamnya tidak hanya mengandung aktivitas periwayatan, tetapi mencakup proses
penerimaan hadits ( tahammul al-hadits ) dan periwayatan hadits ( ada’
alhadits ) sekaligus.
Kata tahammul merupakan bentuk mashdar
dari kata tahammala,tahammulan yang secara etimologi bearti menerima.
Sedangkan menurut pengertian istilah, yang dimaksud dengan tahammul
adalah :
بيا ن طر ق أخذ الحد يث عن ااشيخ
“penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil
atau menerima hadits dari gurunya”.
Sedangkan kata ada’ merupakan isim mashdar
dari ada’ yuaddi’, ada’an. Secara etimologis
berarti menyampaikan atau menunaikan. Sedangkan menurut istilah, ada’
a-lhadits adalah :
بيا ن طر ق أخذ الحد يث او رواية الحد يث واعطا ؤه للطلا ب
“penjelasan mengenai
cara-cara menyampaikan hadits yang diterima oleh para periwayat hadits dari
syaikh atau gurunya”.
Jadi, penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan tahammul wa ada’ al-hadits adalah
penjelasan mengenai cara-cara menerima atau mendapatkan hadits dari syaikh dan
bagaimana cara menyampaikannya dengan sighat-sighat yang tertentu pula.[1]
A. Syarat tahammul dan syarat ada’
1.
Kelayakan tahammul
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar
yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia taklif.
Sedang sebagian mereka tidak mmperbolehkannya. Yang benar adalah pendapat
mayoritas ulama’ itu. Karena sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka
menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti hasan Husain,
Abdullah ibn az-zubair, anas ibn malik, Abdullah ibn abbas, abu sa’ad alkudriy,
Mahmud ibn ar-rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antarariwayat yang mereka
terima sebelum dan sesdah baligh.
Mereka yang memperbolehkan kegatan mendengar hadis yang dilakukan
oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu
tergantung pada masalah “tamjiz” dari anak kecil itu. Dan tamjiz ini jelas
berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan
keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak diantara mereka yang telah
berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke
dalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa umur minimalnya lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh
pendapat ini adalah riwayat imam bukhari dalam shahihnya dari hadits Muhammad
ibn ar-rabi’ ra. Katanya : “aku masih ingat siraman nabi saw. Dari timba ke
mukaku, dan aku ketika itu berusia lima tahun.
Kedua, pendapat al-hafidz musa ibn harun al-hammal, yaitu bahwa
kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya
merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan “tamyiz” . beliau menjelaskan
pengertian tamyiz dengan keidupan di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan
pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan
jawaban, makaia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya
dibawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa
memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadits tidak abash, meski
usianya diatas lima tahun.
2.
Kelayakan ada’
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sepedapat bahwa
orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah baik laiki-laki maupun wanita harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Islam
Sehingga
tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijma’ ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta
ataupun tidak. Dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima
riwayatnya bearti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin
riwayat perusak islam bisa diterima ? di samping itu, allah azza wa jalla juga
memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui
firmannya :
(al-hujurat
: 6)
Bila
terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita
yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
b.
Baligh
Ini
merupakan pusat taklif. Karena itu riwayat anak yang berada dibawah usia taklif
tidak bisa diterima, sebagai penerapan firman allah swt :
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَن المَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْ بِ عَلَى عَقْلِهِ يَبْرَ أَ
, وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ,وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
(رواه ابو داود)
Terangkat pena dari tiga orang: dari orang
gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil
sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)
Usia
baligh merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan dan
memahami hokum-hukum syaria’at. Karena itu keberadaan taklif dikaitkan
dengannya. Yang jelas, yang dimaksud baligh disini adalah adanya akal sehat
disertai dengan usia yang memungkinkannya bermimpi basah. Oleh karena itu ada
sebagian ulama muta’akhirin yang menyaratkan baligh dan berakal. Sedang ulama
mutaqaddimin mencukupkan diri dengan menyebut syarat berakal. Karena umumnya
tidak dijumpai kemampuan menangkap pembicaraan dan berakal sebelum usia baligh.
c.
Sifat adil
Ia
merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk
senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya
akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, juga sebagian dosa
kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta
menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti
makan dijalan, buang air kecil dijalan, berteman dengan orang-orang keji dan
terlalu berlebihan dalam berkelakar.
d.
Dhabit
Dhabit, ialah :
تَيْقِظُ الرَّاوِى حِيْنَ تَحْمِلُهُ وَفَهْمُهُ لِمَا سَمِعَهُ وَحِفْظُهُ
لِذَالِكَ مِنْ وَقْتِ التَحْمِلُ اِلَى وَقْتِ الْجَاءِ
“teringat kembali perawi saat penerimaan
dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga
menyampaikannya”.[2]
Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya
ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya
kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang
perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya. Dan
memahami tulisannya dari adanya perubahan. Penggantian atau pengurangan bila ia
meriwayatkan dari tulisannya. Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah
dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwayat
pada umumnya meski hanya dari segi makna maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit kesamaan, maka kedhabitannya
cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
Demikianlah, suatu hadits tidak akan
diterima bila perawinya tidak memenuhi ketika menyampaikan keempat syarat yang
telah saya sebutkan, yaitu islam, taklif, adil dan dhabit. Sedang ketika
menerima, cukup bagi seseorang hanya dengan memilki sifat tamyiz.[3]
B. Cara – cara penerimaan hadis
a.
As-sima’ ( ا لسما ع , mendengar)
Yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara
didiktekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. atau seorang guru membaca
hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya,
baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama’,
metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa
mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi
dari pada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang
murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan
lebih dekat kepada kebenaran. Sebab biasanya ada penerimaan setelah imla’. Dan
mendengar adalah cara mula-mula ditempuh oleh periwayat.[4]
Lafadh-lafadh yang dipergunakan oleh rawy dalam
meriwayatkan hadits atas dasar sama’, ialah :
أَ خْبَرَ نِىْ , أَ خْبَرَ نَا (
seseorang telah mengabarkan kepadaku/kami )
حَدً ثَنِى , حَدً ثَنَا (
seseorang telah bercerita kepadaku/kami )
b.
Al-qira’ah ala asy-syeikh ( القر أة على الشيخ , membaca dihadapan guru)
Sebagian besar ulama hadits menyebutnya Ial-‘aradh ( العر ض , penyodoran). Ada juga meneyebutnya ‘ardh al-qira’ah ( عر ض االقر أة , menyodorkan bacaan). Karena murid
menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah
seorang membaca hadits dhadapan guru, baik dari hafalannya ataupn dari kitabnya
yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan
hafalannya atau dari kita asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk
mengecek dan meneliti. Kadang-kdang yang mengecek bukan gurunya, tetapi orang
yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang
masing-masing memilki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar
dari orang yang membaca diadapan guru.[6]
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menympaikan
hadits-hadits yang berdasarkan qira’ah ini, ialah :
قَرَ أْ تُ عَلَيْهِ ( aku telah membacakan dihadapannya )
قُرِ ىءَ عَلَى فُلَا نٍ وَ أَ نَا
اَسْمَعُ ( dibacakan oleh seseorang
dihadapannya/guru sedang aku mendengarkannya
)
حَدً ثَنَا أَوْ أَخْبَرَ نَا قِرَ
أَ ةً عَلَيْهِ (
telah mengabarkan/menceritakan padaku secara pemacaan di hadapannya )[7]
c.
Al-ijazah (
الأجا
ز ة , sertifikasi atau rekomendasi)
Yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang
lain, untuk meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya. Dalam kedua
metode yang telah saya sebutkan, seorang murid atau guru meneyembunyikan
hadits-hadits yang bersangkutan, baik secara langsung ataupun tidak. Sedang
ijazah ini merupakan jenis metode tahammul yang baru dan berbeda sama sekali.
Namun masih tetap dalam batas pemberian kewenangan seorang guru untuk
meriwayatkan sebagian riwyatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau
beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang
diijazahkan. Oleh karena itu, ada ulama’ yang memperbolehkannya dan ada yang
tidak. Contoh metode ijazah ini adalah, seorang ahli hadits berkata kepada
sebagian muridnya : aku ijazahkan/aku perbolehkan kamu meriwayatkan kitab al-buyu’
dari shahih al-bukhari dariku. Saya telah mendengar dari seseorang. Atau : saya
perbolehkan kamu meriwayatkan shahih muslim dariku. Saya telah mendengarnya
dari seseorang. Tanpa membaca sedikit pun atau membaca sebagiannya, dan
mengijazahkan selebihnya.[8]
Kata al-ijazah secara etimologis diambil
dari kata :
جِوَارُ الْمَا ءِ الًذِ يْ سَقَا هُ المَالَ مِنَ الْمَا
شِيًةِ وَالْحَرْ ثِ
Mengalirkan air yang dihunakan untuk menyiram kekayaan berupa
binatang ternak atau persawaan.
Untuk ijazah ini
diperlukan emapat unsure :
1.
Mujiez, yaitu :
syaikh yang memberikan ijazah
2.
Mujaz, yaitu :
yang menerima ijazah.
3.
Mujaz bihi, yaitu :
kitab, atau juz dan seumpamanya.
Ijazah itu mempunyai 3 tipe, yakni :
1.
Ijazah fi mu’ayyamin limu’ayyanin ( izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang
tertentu ), misalnya :
أَ جَزْ تُ
لَكَ رِ وَا يَةَ اْ كِتَا بِ ا لْفُلَا نِىّ عَنِّى
“aku mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan kitab si fulan dari saya”.
2.
Ijazah fighairi ma’ayyanin li mu’ayyanin ( izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada
kepada orang yang tidak tertentu ), misalnya :
أَ جَزْ
تُ لَكَ جَمِيْعَ مَسْمُوْ عَا تِى أَ وْ مَرْ وِ يَّا تِى
“kuijazahkan
kepadamu ِseluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”
3.
Ijazah ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin ( izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang
yang tertentu ), misalnya :
أَ جَزْ
تُ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعَ مسَمُوْ عَا تِى
“kuijazahkan kepada
seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”.[10]
d.
Al-munawalah (
المنا
و لة , memberikan )
Munawalah, dalam istilah, ialah :
اَ نْ يُعْطِيَ الَّشيْخُ لِلَّطا لِبِ اَ صْلَ سَمَا عِهِ اَ وْ فَرْ
عًا مُقَا بِلًا لَهُ وَ يَقُوْ لُ لَهُ : هُوَ سَمَا عِى مِنْ فُلاَ نٍ فَا رْ
وِهِ عَنِّى وَ اَ جَزْ تُ لَكَ رِ وَا
يَتَهُ.
“seorang guru member
kepada seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau satu
salinan yang sudah dicontohkan seraya ia berkata : inilah hadits-hadits yang
telah aku dengar dari sifulan, maka riwayatkanlah dia dari padaku dan aku telah
ijazahkan kepada engkau meriwayatkannya”.[11]
Yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli
kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Maksudnya,
seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab
kepada muridnya agar sang murid meriwayatkanya darinya. Misalnya, seorang guru
memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : inilah haditsku, atau
inlah riwayat-riwayat yangkudengar, tanpa mengatakan : riwayatkanlah ia dariku,
atau aku memperbolehkanmu untuk meriwayatkannya dariku. Sebagian ulama’
memperbolehkan metode ini, sementara sebagian yang lain tidak
memperbolehkannya.[12]
Munawalah itu mempunyai dua tipe, yakni :
1.
Dengan dibarengi ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau
salinannya, lalu mengatakan : “ riwayatkanlah dari saya ini. Atau naskah yang
dibacakan seorang murid dihadapan sang guru, lalu dikatakan : “ itu adalah
periwayatan saya, karenanya riwayatkanlah “.
2.
Tanpa dibarengi ijazah. Yakni, ketika naskah asli atau turuannya diberikan kepada
muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar dari si fulan,
tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk meriwayatkannya.
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk memberikan munawalah berbareng
dengan ijazah :
هَذَ ا سَمَا عِى أَ وْ رِ وَ ا يَتِى عَنْ فُلَا نٍ فَا رْ وِ هِ
“ini adalah hasil
pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang riwayatkanlah“
Munawalah yang tidak dibarengi ijazah :
هَذَ ا سَمَا عِى اَ وْ مِنْ رِ وَا يَتِى
“ini adalah hasil
pendengaranku atau berasal dari periwayatanku”
Maksudnya yang diucapkan bersama-sama dengan
memberikan naskah atau salinan kepada muridnya.
Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawy dalam
meriwayatkan hadits atas dasar munawalah bersama ijazah, ialah :
أَ نْبَأَ نِى , أَ نْبَأَ نَا ( seseorang telah memberitahukan kepadku/kami
)
Munawalah yang tidak bersama ijazah, ialah :
e.
Al-mukatabah ( ا لمكا تبة , penulisan )
Mukatabah,
ialah :
اَ نْ يَكْتُبَ ا لشَّيْخُ بَعْضَ حِدِ يْثِهِ لِمَنْ حَضَرَ عِنْدَ
هُ ا وَ لِمَنْ غَا بَ عَنْهُ وَ يُرْ سِلَهُ اِ لَيْهِ سَوَ ا ءٌ كَتَبَ بِنَفْسِهِ
اَوْ اَ مَرَ غَيْرُ هُ اَ نْ يَكْتُبُهُ.
“seorang guru menulis
haditsnya untuk orang yang berada disisinya, atau untuk orang yang jauh dan
dikirim surat kepadanya, baik dia tulis sendiri, ataupun dia suruh orang lain
menulisnya”.[14]
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya
sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk
seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu
guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.
Maktabah ini memilki dua bagian :
Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits
untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setarap dengan
munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Ada sekelompok ulama’ yang
melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkannya.
Dan pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulama’ mutaqadimin dan
muta’akhirin.[15]
Contoh dari mukatabah al-maqrunah bil-ijazah,
seperti :
أَ جَزْ تُ لَكَ مَا كَتَبْتُهُ أِ لَيْكَ , أَ
جَزْ تُ مَا كَتَبْتُ بِهِ أِ لَيْكَ
“kuizinkan apa-apa yang telah kutulis padamu”.
Adapun mukatabah yang tidak bersama dengan
ijazah, seperti bila seorang guru mengirimkan tulisan/surat kepada muridnya :
قاَ لَ حَدً ثَنَا فُلَا نٌ
( telah memberitakan
seseorang padaku ).
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan
hadits yang berdasar mukatabah, ialah :
حَدّ ثَنِى فُلَا نٌ كِتَا بَةً ( seseorang telah bercerita padaku
dengan surat-menyurat )
أَ خْبَرَ نِىْ فُلَا نٌ كِتَا بَةً ( seseorang telah mengabarkan kepadaku
melalui surat )
f.
I’lam asy-syeikh
( أ
علا م ا لشيخ , pemberitahuan )
I’lam, ialah :
اَ نْ يُعَلِّمَ ا لشَّيْخُ ا لِطَّا لِبَ بِأَ نَّ حَدِ يْثًا اَ وْ كِتَا
بًا مَا هُوَ رِ وَا يَتَهُ عَنْ شَيْخِهِ فُلاَ نٍ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَأْ ذَ نَ
لَهُ فِى رِ وَا يَتِهِ.
“seorang
guru memberitahukan kepada seorang thalib bahwa sesuatu hadits atau sesuatu
kitab, itulah riwayatnya dari gurunya sifulan tanpa diizinkan si thalib
meriwayatkannya”.[17]
Yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa
hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru
seseorang, dengan tidak mengatakan/menyuruh agar si murid meriwayatkannya. Maksudnya
seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis tertentu atau kitab
tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat milikinya dan telah didengarnya
atau diambilnya dari seseorang atau perkataan lain yang senada, tanpa
menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan
darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama’
memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu
sudah mengandung pengertian pemerian ijin atau ijazah dari guru kepada murid
untuk meriwayatkan darinya. Merea juga menilai, bahwa kejujuran dan kepercayaan
sang guru tiak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya dan
pemberitahuannya kepada muridnya menunjukan keridhaannya untuk menerima dan
meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama’
mutaqaddimin, seperti ibn juraij, juga mayoritas ulama’ muta’akhirin.[18]
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan
hadits yang diterima berdasar I’lam ini seperti :
أَ عْلَمَنِى فُلَا نٌ قَا لَ حَدّ ثَنَا ...
“seseorang telah
memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku . . . .”[19]
g.
Al-washiyyah ( ا لو صية , berwasiat )
Yaitu pesan seseorang di kala akan mati atau
berpergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. atau seorang guru
berwasiat, sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab
riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriayatkan darinya. Bentuk ini
merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhirin
menghitungnya dalam jajaran metode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian
ulama’ salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah
satunya adalah riwayat bahwa abu qilabah Abdullah ibn zaid al-jirmiy (-104 h)
mewasiatkan kitab-kitabnya untuk ayyub as-sakhtiyani (68-131 h).[20]
Lafadh-lafadh yang dipakai untuk menyampaikan
hadits berdasar washiyat, seperti :
اَ وْ صَى اِ لَىّ فُلَا نٌ بِكِتَا بٍ قَا لَ فِيْهِ حَدّ ثَنَا الى
اَ خر ه
“seseorang telah
berwashiyat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kita itu : telah
bercerita padamu si fulan . . . . “[21]
h.
Al-wijadah ( ا لو جا د ة , penemuan )
Yakni memperoleh tulisan hadits orang lain yang
tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadh sama’, qira’ah maupun selainnya dari
pemilk hadits atau pemilik tulisan tersebut. Kata al-wijadah dengan
kasrah wahyu merupakan konjugasi dari kata wajada-yajidu, bentuk yang
tidak analogis. Ulama’ hadits menggunakannya dengan pengerian ilmu yang diambil
atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah
ataupun proses munawalah. Misalnya seorang menemukan kitab hasil tulisan orang
semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu
atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin
bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui
kesaksianorang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan
sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnya yang mengujuhkan
penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui
sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam
bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar.[22]
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan
hadits yang berdasar wijadah, ialah seperti :
قَرَ أْ تُ بِخَطّ فُلَا نٍ ( saya telah membaca khat seseorang )
وَ جَدْ تُ بِخَطّ فُلَا نٍ حَدّ
ثَنَا فُلَا نٌ . . . ( kudapati
khath seseorang, bercerita padaku si
fulan . . . .)[23]
C. Shighat ada’
Satu hal yang sudah jelas adalah bahwa
setiap bentuk tahammul memilki padanan bentuk ada’. Karena apa yang
diterima oleh seseorang pada suatu waktu akan diberikannya pada waktu yang
lain. Bahkan tahammul itu juga hasil dari ada’ sebelumnya, begitu seterusnya.
Ulama’ sangat antusias untuk
menjelaskan metode tahammul yang digunakannya sewaktu menyampaikan
riwayat. Sebagian menempuh cara yang sangat ketat dalam menjelaskannya. Karena
metode-metode tahammul yang telah saya jelaskan memilki tingkat akurasi
yang berbeda-beda, secara ilmiah. Hamper seluruh ulama’ sepakat atas wajibnya
membedakan antara riwayat yang tahammulnya dengan sima’ dan qira’ah dengan yang
menggunakan cara lainnya. Karena metode sima’ dan qira’ah berstatus penerimaan
secara langsung berbeda dengan cara-cara lainnya.
Seorang perawi yang menerima hadits
dengan cara sima’ akan mengatakan : sami’tu, haddatsana, akhbarana atau
anba’ana. Semua ungkapan itu bermakna periwayatan hadits. Dan ungkapan seperti
itu telah popular dikalangan ulama’ mutaqaddimin. Khususnya sebelum popular
penggunaan ungkapan : akhbarana untuk hadits yang dibaca dihadapan guru. Dan
ungkapan “akhbarana” lebih banyak digunakan dari pada yang lainnya.
Sampai-sampai ada yang tidak menggunakan ungkapan lain berkenaan dengan hadits
yang didengarnya atau dibacanya dihadapan sang guru.[24]
Diantara
perbedaan cara-cara para rawy menerima hadits dari guru yang memberikan, maka
berbeda pulalah lafadh-lafadh menyampaikan hadits, perbedaan lafadh-lafadh
menyampaikan hadits, mengakibatkan perbedaan nilai suatu hadits.
Lafadh-lafadh untuk menyampaikan hadits itu, dapat
dikelompokkan kepada dua kelompok, yakni :
Pertama : lafadh
meriwayatkan hadits bagi para rawy yang mendengar langsung dari gurunya. Lafadh-lafadh
itu tersusun sebagai berikut :
سَمِعْتُ , سَمِعْنَا
Saya telah mendengar , kami telah mendengar
Lafadh ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkannya
tinggi martabatnya, lantaran rawy-rawynya pada mendengar sendiri, baik
berhadapan muka dengan guru yang memberikannya atau dibelakang tabir
Kemudian حَدٌ
ثَنِى , , حَدٌ
ثَنَا
Seseorang telah bercerita padaku , seseorang telah bercerita pada kami
Lafadh-lafadh tahdits ini, oleh jumhur kadang-kadang
dirumuskan dengan :
ثَنِى ,
نِى , دَ ثَنِى
, ثَنَا ,
نَا , دَ ثَنَا
Dibawah tahdits :
اَ
خْبَرَ نِى ,
اَ
خْبَرَ نَا
Seseorang telah mengabarkan padaku ,
seseorang telah mengabarkan pada kami
Lafadh-lafadh ikhbar ini oleh para muhadditsin dirumuskan
dengan :
اَ
نَا ,
اَ رَ نَا , اَ بَا نَا
, اَ خَا نَا
Asy-syafi’iy dan ‘ulama-‘ulama timur, membedakan lafadh haddatsana
dengan akhbarana, ialah kalau lafadh haddatana itu untuk rawy
yang mendengar langsung dari sang guru, sedang lafadh akhbarana untuk
rawy yang membaca atau menghafal hadits di hadapan guru, kemudian sang guru
mengiyakan.
Lalu : أَ نْبَأَ نَا
, نَبَأَ
نَا
Seseorang telah
memberitahukan kepada , seseorang
telah memberitahukan kepadaku kami
Kedua lafadh ini sedikit sekali pemakaiannya, terakhir :
قَا
لَ لِى ( لَنَا ) فُلَا نً
Seseorang telah berkata kepadaku/kami…….
ذَ
كَرَ لِى ( لَنَا ) فُلَا نً
Seseorang telah menuturkan kepadaku/kami……
Kedua : lafadh riwayat bagi rawy yang
mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri yaitu :
رُ
وِ ىَ , حُكِىَ
, عَنْ , اَ
نٌ ....
( diriwayatkan oleh . .
. . . dihikayatkan oleh .
. . . . dari .
. . .
bahwasanya . . .)
Hadits yang diriwayatkan dengan sighat tamridl ini tidak
dapat untuk menetapkan bahwa nabi benar-benar menyabdakan, kecuali dengan
adanya qarinah yang lain. [25]
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Umi sumbulah, 2010. kajian
kritis ilmu hadits. malang : maliki
press
Sohari sahrani, 2010. ulumul
hadits, bogor : ghalia Indonesia
Muhammad
‘ajaj al-kathib. 2007. Ushul al-hadits.
Jakarta : Gaya media pratama
Fatchur
rahman. 1970. MUSHTHALAHUL HADITS. bandung : alma’arif
Hasbi ash-shiddieqy.
1981. Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS. Jakarta : bulan bintang,
[5] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif,
1970) hal.213
[7] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif,
1970) hal.214
[16] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif,
1970) hal.216-218
[19] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif,
1970) hal.219
[21] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif,
1970) hal.219
[23] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif,
1970) hal.219
[25] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif,
1970) hal.220-222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar