Kamis, 07 Desember 2017

ULUMUL HADITS

PROSES TRANSFORMASI HADIS (TAHAMMUL AL HADITS WA ADA’UHU)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas Terstruktur pada mata kuliah
ULUM AL HADITS 1

https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQoMTmwM3wxUqmL1KM9qstm9xiA1CaukEC5ivglRbmNJtCHdvpD


Disusun Oleh : Kelompok 11
Alfadilatu ahmad      : 2014.1839
Sahardi                       : 2014.1846
                                                Ahmad bahri             : 2014.1834

Dosen Pembimbing :
Linda Suanti, MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PENGEMBANGAN ILMU AL-QUR’AN
STAIPIQ SUMATERA BARAT

2015 M/1436 H

PENDAHULUAN


Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihipun dan diriwayatkan memelui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya. Berdasarkan ka’idah-ka’idah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama, dan mereka jelaskan secara lengkap di dalam buku-buku ushulul hadits.
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadits rasulullah saw. Kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengatakan :      “ilmu-ilmu hadits itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama”.
Untuk memudahkan pembahasan, pemakalah merasa perlu menjelaskan tentang tahammul dan ada’ hadits, yaitu :

a.       Syarat tahammul dan syarat ada’
b.      Cara-cara penerimaan hadis
c.       Shighat ada’













PEMBAHASAN
           
Dalam konteks ini, transformasi hadis diartikan periwayatan hadits. Namun istilah ini digunakan, dengan alas an bahwa didalamnya tidak hanya mengandung aktivitas periwayatan, tetapi mencakup proses penerimaan hadits ( tahammul al-hadits ) dan periwayatan hadits ( ada’ alhadits ) sekaligus.
Kata tahammul merupakan bentuk mashdar dari kata tahammala,tahammulan yang secara etimologi bearti menerima. Sedangkan menurut pengertian istilah, yang dimaksud dengan tahammul adalah :
بيا ن طر ق أخذ الحد يث عن ااشيخ    
penjelasan mengenai cara-cara para periwayat dalam mengambil atau menerima hadits dari gurunya”.
Sedangkan kata ada’ merupakan isim mashdar dari ada yuaddi’, adaan. Secara etimologis berarti menyampaikan atau menunaikan. Sedangkan menurut istilah, ada a-lhadits adalah :
بيا ن طر ق أخذ الحد يث او رواية الحد يث واعطا ؤه للطلا ب
penjelasan mengenai cara-cara menyampaikan hadits yang diterima oleh para periwayat hadits dari syaikh atau gurunya”.
Jadi, penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tahammul wa adaal-hadits adalah penjelasan mengenai cara-cara menerima atau mendapatkan hadits dari syaikh dan bagaimana cara menyampaikannya dengan sighat-sighat yang tertentu pula.[1]

A.    Syarat tahammul dan syarat ada’
1.      Kelayakan tahammul
Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak mmperbolehkannya. Yang benar adalah pendapat mayoritas ulama’ itu. Karena sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperti hasan Husain, Abdullah ibn az-zubair, anas ibn malik, Abdullah ibn abbas, abu sa’ad alkudriy, Mahmud ibn ar-rabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antarariwayat yang mereka terima sebelum dan sesdah baligh.
Mereka yang memperbolehkan kegatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil, berbeda pendapat tentang batas usianya. Karena hal itu tergantung pada masalah “tamjiz” dari anak kecil itu. Dan tamjiz ini jelas berbeda-beda antar masing-masing anak kecil. Namun demikian mereka memberikan keterangan bersamaan dengan pendapat mereka. Banyak diantara mereka yang telah berusaha keras untuk menjelaskannya. Dan kita bisa meringkas penjelasan itu ke dalam tiga pendapat :
Pertama, bahwa umur minimalnya lima tahun. Hujjah yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat imam bukhari dalam shahihnya dari hadits Muhammad ibn ar-rabi’ ra. Katanya : “aku masih ingat siraman nabi saw. Dari timba ke mukaku, dan aku ketika itu berusia lima tahun.
Kedua, pendapat al-hafidz musa ibn harun al-hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Saya merasa yakin bahwa yang beliau maksudkan “tamyiz” . beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan keidupan di sekitar.
Ketiga, keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembicaraan dan mampu memberikan jawaban, makaia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya dibawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadits tidak abash, meski usianya diatas lima tahun.
2.      Kelayakan ada’
Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sepedapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah baik laiki-laki maupun wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Islam
Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijma’ ulama, baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak. Dan sangat tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya bearti membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak islam bisa diterima ? di samping itu, allah azza wa jalla juga memerintahkan kita untuk mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firmannya :



(al-hujurat : 6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.

b.      Baligh
Ini merupakan pusat taklif. Karena itu riwayat anak yang berada dibawah usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan firman allah swt :
            رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَن المَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْ بِ عَلَى عَقْلِهِ يَبْرَ أَ , وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ,وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ (رواه ابو داود)                                             
Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)

Usia baligh merupakan usia dugaan adanya kemampuan menangkap pembicaraan dan memahami hokum-hukum syaria’at. Karena itu keberadaan taklif dikaitkan dengannya. Yang jelas, yang dimaksud baligh disini adalah adanya akal sehat disertai dengan usia yang memungkinkannya bermimpi basah. Oleh karena itu ada sebagian ulama muta’akhirin yang menyaratkan baligh dan berakal. Sedang ulama mutaqaddimin mencukupkan diri dengan menyebut syarat berakal. Karena umumnya tidak dijumpai kemampuan menangkap pembicaraan dan berakal sebelum usia baligh.

c.       Sifat adil
Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, juga sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, seperti makan dijalan, buang air kecil dijalan, berteman dengan orang-orang keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.

d.      Dhabit
Dhabit, ialah :

تَيْقِظُ الرَّاوِى حِيْنَ تَحْمِلُهُ وَفَهْمُهُ لِمَا سَمِعَهُ وَحِفْظُهُ لِذَالِكَ مِنْ وَقْتِ التَحْمِلُ اِلَى وَقْتِ الْجَاءِ
teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya”.[2]

Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan. Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya. Dan memahami tulisannya dari adanya perubahan. Penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya. Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqat, dhabit dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwayat pada umumnya meski hanya dari segi makna maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada sedikit kesamaan, maka kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah.
            Demikianlah, suatu hadits tidak akan diterima bila perawinya tidak memenuhi ketika menyampaikan keempat syarat yang telah saya sebutkan, yaitu islam, taklif, adil dan dhabit. Sedang ketika menerima, cukup bagi seseorang hanya dengan memilki sifat tamyiz.[3]


B.     Cara – cara penerimaan hadis
a.       As-sima’  (  ا لسما ع  , mendengar)
Yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara didiktekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. atau seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama’, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat, bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi dari pada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada kebenaran. Sebab biasanya ada penerimaan setelah imla’. Dan mendengar adalah cara mula-mula ditempuh oleh periwayat.[4]

Lafadh-lafadh yang dipergunakan oleh rawy dalam meriwayatkan hadits atas dasar sama’, ialah :

أَ خْبَرَ نِىْ , أَ خْبَرَ نَا                     ( seseorang telah mengabarkan kepadaku/kami )
حَدً ثَنِى , حَدً ثَنَا                        ( seseorang telah bercerita kepadaku/kami )
سَمِعْتُ , سَمِعْنَا                            ( saya telah mendengar,kami telah mendengar )[5]

b.      Al-qira’ah ala asy-syeikh (  القر أة على الشيخ , membaca dihadapan guru)
Sebagian besar ulama hadits menyebutnya Ial-‘aradhالعر ض , penyodoran). Ada juga meneyebutnya ‘ardh al-qiraah (    عر ض االقر أة , menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-qur’an kepada gurunya. Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits dhadapan guru, baik dari hafalannya ataupn dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kita asalnya ataupun dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti. Kadang-kdang yang mengecek bukan gurunya, tetapi orang yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya beberapa orang yang masing-masing memilki satu naskah yang telah diteliti yang semuanya mendengar dari orang yang membaca diadapan guru.[6]

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menympaikan hadits-hadits yang berdasarkan qira’ah ini, ialah :

قَرَ أْ تُ عَلَيْهِ                                          (  aku telah membacakan dihadapannya )
قُرِ ىءَ عَلَى فُلَا نٍ وَ أَ نَا اَسْمَعُ                  ( dibacakan oleh seseorang dihadapannya/guru sedang aku  mendengarkannya )

حَدً ثَنَا أَوْ أَخْبَرَ نَا قِرَ أَ ةً عَلَيْهِ                   ( telah mengabarkan/menceritakan padaku secara pemacaan di hadapannya )[7]            

c.       Al-ijazah الأجا ز ة , sertifikasi atau rekomendasi)
Yakni pemberian izin dari seseorang kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadits dari padanya, atau kitab-kitabnya. Dalam kedua metode yang telah saya sebutkan, seorang murid atau guru meneyembunyikan hadits-hadits yang bersangkutan, baik secara langsung ataupun tidak. Sedang ijazah ini merupakan jenis metode tahammul yang baru dan berbeda sama sekali. Namun masih tetap dalam batas pemberian kewenangan seorang guru untuk meriwayatkan sebagian riwyatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah ditentukan pula, tanpa membacakan semua hadits yang diijazahkan. Oleh karena itu, ada ulama’ yang memperbolehkannya dan ada yang tidak. Contoh metode ijazah ini adalah, seorang ahli hadits berkata kepada sebagian muridnya : aku ijazahkan/aku perbolehkan kamu meriwayatkan kitab al-buyu’ dari shahih al-bukhari dariku. Saya telah mendengar dari seseorang. Atau : saya perbolehkan kamu meriwayatkan shahih muslim dariku. Saya telah mendengarnya dari seseorang. Tanpa membaca sedikit pun atau membaca sebagiannya, dan mengijazahkan selebihnya.[8]

Kata al-ijazah secara etimologis diambil dari kata :

جِوَارُ الْمَا ءِ الًذِ يْ سَقَا هُ المَالَ مِنَ الْمَا شِيًةِ وَالْحَرْ ثِ
Mengalirkan air yang dihunakan untuk menyiram kekayaan berupa binatang ternak atau persawaan.

Untuk ijazah ini  diperlukan emapat unsure :
1.      Mujiez, yaitu : syaikh yang memberikan ijazah
2.      Mujaz, yaitu : yang menerima ijazah.
3.      Mujaz bihi, yaitu : kitab, atau juz dan seumpamanya.
4.      Lafadh ijazah, yaitu : ibarat yang menunjukan kepada keizinan periwayatan.[9]

Ijazah itu mempunyai 3 tipe, yakni :
1.      Ijazah fi mu’ayyamin limu’ayyanin ( izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tertentu ), misalnya :

أَ جَزْ تُ لَكَ رِ وَا يَةَ اْ كِتَا بِ ا لْفُلَا نِىّ عَنِّى
aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya”.

2.      Ijazah fighairi ma’ayyanin li mu’ayyanin ( izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada kepada orang yang tidak tertentu ), misalnya :

أَ جَزْ تُ لَكَ جَمِيْعَ مَسْمُوْ عَا تِى أَ وْ مَرْ وِ يَّا تِى
kuijazahkan kepadamu ِseluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan

3.      Ijazah ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin ( izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang  tertentu ), misalnya :

أَ جَزْ تُ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعَ مسَمُوْ عَا تِى
kuijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya”.[10]

d.      Al-munawalahالمنا و لة , memberikan )
Munawalah, dalam istilah, ialah :

اَ نْ يُعْطِيَ الَّشيْخُ لِلَّطا لِبِ اَ صْلَ سَمَا عِهِ اَ وْ فَرْ عًا مُقَا بِلًا لَهُ وَ يَقُوْ لُ لَهُ : هُوَ سَمَا عِى مِنْ فُلاَ نٍ فَا رْ وِهِ عَنِّى وَ اَ جَزْ  تُ لَكَ رِ وَا يَتَهُ.                                                                   
seorang guru member kepada seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau satu salinan yang sudah dicontohkan seraya ia berkata : inilah hadits-hadits yang telah aku dengar dari sifulan, maka riwayatkanlah dia dari padaku dan aku telah ijazahkan kepada engkau meriwayatkannya”.[11]

Yakni seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya agar sang murid meriwayatkanya darinya. Misalnya, seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata : inilah haditsku, atau inlah riwayat-riwayat yangkudengar, tanpa mengatakan : riwayatkanlah ia dariku, atau aku memperbolehkanmu untuk meriwayatkannya dariku. Sebagian ulama’ memperbolehkan metode ini, sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya.[12]

Munawalah itu mempunyai dua tipe, yakni :
1.      Dengan dibarengi ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab-kitab asli atau salinannya, lalu mengatakan : “ riwayatkanlah dari saya ini. Atau naskah yang dibacakan seorang murid dihadapan sang guru, lalu dikatakan : “ itu adalah periwayatan saya, karenanya riwayatkanlah “.
2.      Tanpa dibarengi ijazah. Yakni, ketika naskah asli atau turuannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar dari si fulan, tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk meriwayatkannya.

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk memberikan munawalah berbareng dengan ijazah :

هَذَ ا سَمَا عِى أَ وْ رِ وَ ا يَتِى عَنْ فُلَا نٍ فَا رْ وِ هِ
ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang riwayatkanlah

Munawalah yang tidak dibarengi ijazah :

هَذَ ا سَمَا عِى اَ وْ مِنْ رِ وَا يَتِى
ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku
Maksudnya yang diucapkan bersama-sama dengan memberikan naskah atau salinan kepada muridnya.

Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawy dalam meriwayatkan hadits atas dasar munawalah bersama ijazah, ialah :

أَ نْبَأَ نِى  ,  أَ نْبَأَ نَا              ( seseorang telah memberitahukan kepadku/kami )
Munawalah yang tidak bersama ijazah, ialah :

نَا وَ لَنِىْ  ,  نَا وَ لَنَا       ( seseorang telah memberikan kepadaku/kami )[13]

e.       Al-mukatabah  (  ا لمكا تبة  , penulisan )
Mukatabah, ialah :
اَ نْ يَكْتُبَ ا لشَّيْخُ بَعْضَ حِدِ يْثِهِ لِمَنْ حَضَرَ عِنْدَ هُ ا وَ لِمَنْ غَا بَ عَنْهُ وَ يُرْ سِلَهُ اِ لَيْهِ سَوَ ا ءٌ كَتَبَ بِنَفْسِهِ اَوْ اَ مَرَ غَيْرُ هُ اَ نْ يَكْتُبُهُ.                                                                       
seorang guru menulis haditsnya untuk orang yang berada disisinya, atau untuk orang yang jauh dan dikirim surat kepadanya, baik dia tulis sendiri, ataupun dia suruh orang lain menulisnya”.[14]

Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya. Maktabah ini memilki dua bagian :
Pertama, disertai dengan ijazah. Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah kepadanya. Jenis ini setarap dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan kekuatan.
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Ada sekelompok ulama’ yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkannya. Dan pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulama’ mutaqadimin dan muta’akhirin.[15]

Contoh dari mukatabah al-maqrunah bil-ijazah, seperti :

أَ جَزْ تُ لَكَ مَا كَتَبْتُهُ أِ لَيْكَ  ,  أَ جَزْ تُ مَا كَتَبْتُ بِهِ أِ لَيْكَ 
kuizinkan apa-apa yang telah kutulis padamu”.
Adapun mukatabah yang tidak bersama dengan ijazah, seperti bila seorang guru mengirimkan tulisan/surat kepada muridnya :

قاَ لَ حَدً ثَنَا فُلَا نٌ
( telah memberitakan seseorang padaku ).

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang berdasar mukatabah, ialah :

حَدّ ثَنِى فُلَا نٌ كِتَا بَةً      ( seseorang telah bercerita padaku dengan surat-menyurat )
أَ خْبَرَ نِىْ فُلَا نٌ كِتَا بَةً     ( seseorang telah mengabarkan kepadaku melalui surat )
كَتَبَ أِ لَىّ فُلَا نٌ          ( seseorang telah menulis padaku )[16]

f.       I’lam asy-syeikh  ( أ علا م  ا لشيخ   , pemberitahuan )
I’lam, ialah :

اَ نْ يُعَلِّمَ ا لشَّيْخُ ا لِطَّا لِبَ بِأَ نَّ حَدِ يْثًا اَ وْ كِتَا بًا مَا هُوَ رِ وَا يَتَهُ عَنْ شَيْخِهِ فُلاَ نٍ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَأْ ذَ نَ لَهُ فِى رِ وَا يَتِهِ.                                                                                 
seorang guru memberitahukan kepada seorang thalib bahwa sesuatu hadits atau sesuatu kitab, itulah riwayatnya dari gurunya sifulan tanpa diizinkan si thalib meriwayatkannya”.[17]

Yakni pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan/menyuruh agar si murid meriwayatkannya. Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat milikinya dan telah didengarnya atau diambilnya dari seseorang atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama’ memperbolehkan meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemerian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Merea juga menilai, bahwa kejujuran dan kepercayaan sang guru tiak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya dan pemberitahuannya kepada muridnya menunjukan keridhaannya untuk menerima dan meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama’ mutaqaddimin, seperti ibn juraij, juga mayoritas ulama’ muta’akhirin.[18]

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang diterima berdasar I’lam ini seperti :

أَ عْلَمَنِى فُلَا نٌ قَا لَ حَدّ ثَنَا ...
seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku . . . .[19]


g.      Al-washiyyah  (  ا لو صية , berwasiat  )
Yaitu pesan seseorang di kala akan mati atau berpergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. atau seorang guru berwasiat, sebelum berpergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk meriayatkan darinya. Bentuk ini merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhirin menghitungnya dalam jajaran metode tahammul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama’ salaf tentang wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa abu qilabah Abdullah ibn zaid al-jirmiy (-104 h) mewasiatkan kitab-kitabnya untuk ayyub as-sakhtiyani (68-131 h).[20]

Lafadh-lafadh yang dipakai untuk menyampaikan hadits berdasar washiyat, seperti :

اَ وْ صَى اِ لَىّ فُلَا نٌ بِكِتَا بٍ قَا لَ فِيْهِ حَدّ ثَنَا الى اَ خر ه
seseorang telah berwashiyat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kita itu : telah bercerita padamu si fulan . . . .[21]

h.      Al-wijadah  (  ا لو جا د ة  , penemuan )
Yakni memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan lafadh sama’, qira’ah maupun selainnya dari pemilk hadits atau pemilik tulisan tersebut. Kata al-wijadah dengan kasrah wahyu merupakan konjugasi dari kata wajada-yajidu, bentuk yang tidak analogis. Ulama’ hadits menggunakannya dengan pengerian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah. Misalnya seorang menemukan kitab hasil tulisan orang semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksianorang yang bisa dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu ataupun melalui sarana lainnya yang mengujuhkan penisbatannya kepada yang bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk mendengar.[22]
           
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadits yang berdasar wijadah, ialah seperti :

قَرَ أْ تُ بِخَطّ فُلَا نٍ                                (  saya telah membaca khat seseorang )                    
وَ جَدْ تُ بِخَطّ فُلَا نٍ حَدّ ثَنَا فُلَا نٌ . . .   ( kudapati khath seseorang, bercerita padaku si      fulan . . . .)[23]
           
C.    Shighat ada’
Satu hal yang sudah jelas adalah bahwa setiap bentuk tahammul memilki padanan bentuk ada’. Karena apa yang diterima oleh seseorang pada suatu waktu akan diberikannya pada waktu yang lain. Bahkan tahammul itu juga hasil dari ada’ sebelumnya, begitu seterusnya.
Ulama’ sangat antusias untuk menjelaskan metode tahammul yang digunakannya sewaktu menyampaikan riwayat. Sebagian menempuh cara yang sangat ketat dalam menjelaskannya. Karena metode-metode tahammul yang telah saya jelaskan memilki tingkat akurasi yang berbeda-beda, secara ilmiah. Hamper seluruh ulama’ sepakat atas wajibnya membedakan antara riwayat yang tahammulnya dengan sima’ dan qira’ah dengan yang menggunakan cara lainnya. Karena metode sima’ dan qira’ah berstatus penerimaan secara langsung berbeda dengan cara-cara lainnya.
Seorang perawi yang menerima hadits dengan cara sima’ akan mengatakan : sami’tu, haddatsana, akhbarana atau anba’ana. Semua ungkapan itu bermakna periwayatan hadits. Dan ungkapan seperti itu telah popular dikalangan ulama’ mutaqaddimin. Khususnya sebelum popular penggunaan ungkapan : akhbarana untuk hadits yang dibaca dihadapan guru. Dan ungkapan “akhbarana” lebih banyak digunakan dari pada yang lainnya. Sampai-sampai ada yang tidak menggunakan ungkapan lain berkenaan dengan hadits yang didengarnya atau dibacanya dihadapan sang guru.[24]
            Diantara perbedaan cara-cara para rawy menerima hadits dari guru yang memberikan, maka berbeda pulalah lafadh-lafadh menyampaikan hadits, perbedaan lafadh-lafadh menyampaikan hadits, mengakibatkan perbedaan nilai suatu hadits.

Lafadh-lafadh untuk menyampaikan hadits itu, dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yakni :
Pertama : lafadh meriwayatkan hadits bagi para rawy yang mendengar langsung dari gurunya. Lafadh-lafadh itu tersusun sebagai berikut :

سَمِعْتُ                                                  , سَمِعْنَا     
Saya telah mendengar ,           kami telah mendengar
Lafadh ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkannya tinggi martabatnya, lantaran rawy-rawynya pada mendengar sendiri, baik berhadapan muka dengan guru yang memberikannya atau dibelakang tabir

Kemudian                               حَدٌ ثَنِى                    ,                  حَدٌ ثَنَا
Seseorang telah bercerita padaku  seseorang telah bercerita pada kami
Lafadh-lafadh tahdits ini, oleh jumhur kadang-kadang dirumuskan dengan :

ثَنِى  ,  نِى  ,  دَ ثَنِى  ,  ثَنَا  ,  نَا  ,  دَ ثَنَا
Dibawah tahdits :

اَ خْبَرَ نِى                      ,                اَ خْبَرَ نَا                  
Seseorang telah mengabarkan padaku  ,  seseorang telah mengabarkan pada kami
           
Lafadh-lafadh ikhbar ini oleh para muhadditsin dirumuskan dengan :

اَ نَا  ,  اَ رَ نَا  ,  اَ بَا نَا  ,  اَ خَا نَا
Asy-syafi’iy dan ‘ulama-‘ulama timur, membedakan lafadh haddatsana dengan akhbarana, ialah kalau lafadh haddatana itu untuk rawy yang mendengar langsung dari sang guru, sedang lafadh akhbarana untuk rawy yang membaca atau menghafal hadits di hadapan guru, kemudian sang guru mengiyakan.

Lalu :                               أَ نْبَأَ نَا                    ,                       نَبَأَ نَا
    Seseorang telah memberitahukan kepada  , seseorang telah memberitahukan kepadaku                 kami
Kedua lafadh ini sedikit sekali pemakaiannya, terakhir :

قَا لَ لِى ( لَنَا )  فُلَا نً
Seseorang telah berkata kepadaku/kami…….

ذَ كَرَ لِى  ( لَنَا )  فُلَا نً
Seseorang telah menuturkan kepadaku/kami……

Kedua : lafadh riwayat bagi rawy yang mungkin mendengar sendiri atau tidak       mendengar sendiri yaitu :

رُ وِ ىَ   ,   حُكِىَ  ,   عَنْ  ,   اَ نٌ ....
( diriwayatkan oleh .  .  .  .  . dihikayatkan oleh   .  .  .  .  . dari  .  .  .  .  bahwasanya  .  .  .)
Hadits yang diriwayatkan dengan sighat tamridl ini tidak dapat untuk menetapkan bahwa nabi benar-benar menyabdakan, kecuali dengan adanya qarinah yang lain. [25]





































KESIMPULAN

           




















           
















DAFTAR PUSTAKA
           
           
            Umi sumbulah, 2010. kajian kritis ilmu hadits.  malang : maliki press
           
Sohari sahrani, 2010. ulumul hadits,  bogor : ghalia Indonesia

Muhammad ‘ajaj al-kathib. 2007. Ushul al-hadits. Jakarta : Gaya media pratama
           
            Fatchur rahman. 1970. MUSHTHALAHUL HADITS. bandung : alma’arif

Hasbi ash-shiddieqy. 1981. Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS. Jakarta : bulan bintang,



























[1] Umi sumbulah, kajian kritis ilmu hadits. ( malang : maliki press, 2010 ) hal.64
[2] Sohari sahrani, ulumul hadits, ( bogor : ghalia Indonesia, 2010) hal.183
[3] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal.201-204
[4] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal.204
[5] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.213
[6] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal.204-205
[7] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.214
[8] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal.205-206
[9] Hasbi ash-shiddieqy. Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS. (Jakarta : bulan bintang, 1981) hal.51
[10] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.214-215
[11] Hasbi ash-shiddieqy. Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS. (Jakarta : bulan bintang, 1981) hal.57
[12] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal. 207
[13] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.215-216
[14] Hasbi ash-shiddieqy. Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS. (Jakarta : bulan bintang, 1981) hal.63
[15] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal.208-209
[16] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.216-218
[17] Hasbi ash-shiddieqy. Pokok-pokok ILMU DIRAYAH HADITS. (Jakarta : bulan bintang, 1981) hal.65
[18] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal. 209
[19] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.219
[20] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal.210
[21] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.219
[22] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal. 211
[23] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.219
[24] Muhammad ‘ajaj al-kathib. Ushul al-hadits. (Jakarta : gaya media pratama, 2007). Hal.213-214
[25] Fatchur rahman. MUSHTHALAHUL HADITS. (bandung : alma’arif, 1970) hal.220-222

Tidak ada komentar:

Posting Komentar